Monday, July 12, 2021

Cara yang Mudah.

 16 Juni 2021

 

Di dunia dualitas ini hanya ada dua cara saja, Cara yang Mudah atau Cara yang Benar. Tidak bisa keduanya, jika dilihat kontennya.

 

Kali ini saya akan ajak bahas sesuatu yang agak serius, karena sama seperti-Nya, walaupun guyonan tapi selalu serius Guyonan-Nya.

 

Mari kita belajar (lagi) mengenai Skema Ponzi (Ponzi Scheme), pemahaman saya terhadap Skema Ponzi adalah, sebuah penipuan berkedok investasi (uang) yang menjanjikan keuntungan besar dengan modal kecil dan risiko yang kecil juga. Yang pada dasarnya adalah memberikan keuntungan pada investor melalui uang hasil invest dari investor yang baru (mulai mikir). Semakin banyak insvestornya maka keuntungan yang dijanjikan akan semakin besar, apalagi kalau si investor mencari investor-investor baru yang menggunakan sistem “member get member”. Dengan janji bila bisa mendapatkan downline yang banyak akan memperoleh return yang lebih besar.

 

Ciri-ciri Skema Ponzi:

  1. Return yang tinggi atau keuntungan yang tinggi dengan risiko yang rendah atau bahkan tanpa risiko.
  2. Keuntungan yang konstan dan bahkan berlebih, karena pada dasarnya kalau bicara investasi itu mengikuti kondisi ekonomi dan perdagangan yang pastinya memiliki grafik yang naik turun dan tidak konstan.
  3. Tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini biasanya mereka mengatakan sedang dalam proses mengajukan ijin kepada OJK, nyatanya akan proses terus. Karena pasti jika memang resmi pastinya mereka harus punya ijin operasi oleh OJK. (silahkan me-refer kepada situs resmi OJK, lembaga mana saja yang memiliki ijin operasi, termasuk perbankan).
  4. Selain tidak terdaftar, mereka biasanya juga tidak memiliki ijin atau jualannya diam-diam dari mulut ke mulut, melalui kelompok-kelompok kecil, melalui komunitas, group WA, group FB. Dan tidak pernah ada publikasinya di media massa manapun. Dan biasanya mencatut nama-nama selebritas atau tokoh masyarakat atau mengaku kalau dari anak perusahaan-perusahaan terkenal.
  5. Cara-cara penyebarannya rahasia, dengan mengatakan biar tidak banyak yang tahu, biar keuntungannya tetap besar. Dengan mengatakan ini hal baru dan belum banyak yang tahu maka bisa menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Bahkan cara menjadi anggotanya sedikit dipersulit agar calon anggota investornya semakin tertarik untuk menanamkan uangnya.
  6. Bermasalah dengan pelaporan keuangan atau pelaporan pembukuannya. Ini sering bisa kita amati apabila mereka kesulitan untuk menunjukkan laporan pergerakan investasi kita sebagai investor. Ini bisa menjadi pertanda bahwa uang kita tidak sedang di investasikan, melainkan hanya diputar-putar saja.
  7. Susah cairnya, penipuan macam ini biasanya susah sekali kalau kita ingin menarik uang kita sendiri, biasanya mereka cenderung untuk memberikan penawaran yang lebih menarik lagi apabila kita mau tetap menanamkan modal atau invest terus bersama mereka. Mungkin mereka bisa menunjukkan uang cash di depan kita hanya kalau kita mau tetap menanamkan modal di organisasi mereka.

 

Apakah anda pernah mengalaminya? Atau kenal seseorang yang pernah mengalaminya? Saya pernah mengalaminya sendiri, bukan sebagai investornya tetapi juga ikut mengalami “hawa” susahnya, karena korbannya adalah orang tua saya sendiri, ketika saya belum memiliki pengetahuan mengenai Skema Ponzi ini. Sekarang saya tahu dan paham.

 




Di jaman seperti ini apakah masih ada?

Tentu saja masih, bahkan sekarang berkedok aplikasi yang dengan mudahnya kita unduh dan install di smartphone kita.

 

Awalnya coba-coba, kemudian keterusan. Cirinya seperti itu, dengan iming-iming bonus “uang” (walaupun virtual) kata aplikasinya bisa ditarik ke dalam aplikasi uang virtual juga bahkan ke rekening bank juga.

 

Awalnya ingin main-main saja mengisi waktu luang, kemudian ada tawaran apabila “hasil” dari usaha kita menjalankan “misi-misi” yang ada di aplikasi baik itu sekedarmemainkan game, membuka video sampai dengan melihat iklan-iklan yang ditampilkan oleh aplikasi kita tersebut, maka kemudian kita di iming-iming untuk menjadi anggota VIP atau mendaftar menjadi member “Platinum” dengan janji keuntungan yang lebih banyak dan lebih besar. Murah saja kok, kisaran 50 ribu hingga 200 ribu saja. Maka kita bisa membayangkan hasil yang berlipat dan lebih banyak.

 

Nah, apa ini namanya kalau bukan “Investasi” juga yang pastinya juga bukan investasi resmi. Nanti pada saatnya uang sudah kita masukkan ke dalam aplikasi tersebut dan perolehan kita sudah banyak, pasti ada saja penawaran-penawaran yang lebih menarik yang di desain sedemikian rupa hanya untuk anda saja (sepertinya hanya anda satu-satunya yang beruntung mendapatkan kesepatan langka seperti ini). Sampai pada titik dimana kita membutuhkan uang itu, kemudian benar-benar ditarik dalam jumlah yang lumayan besar, baru kita sadar bahwa kita sudah tertipu dan menjadi kaki-tangan dari penipu itu karena sudah mengajak teman, saudara bahkan orang tua kita untuk ikutan di dalam aplikasi yang kita gunakan ini.

 

Kalau anda sekarang sudah pernah mengalami yang seperti ini atau sedang menjalani “aplikasi” ini, tidak perlu disesali, tidak perlu membela diri dengan beribu alasan, karena kita sekarang tidak sedang “banyak-banyakan benar”. Sekarang kita sedang mengakui kekurangan kita, mengakui kekeliruan kita, mengakui bahwa kita keliru mengambil keputusan.

 

Bagi sudah pernah belajar Tapping, segera di tapping biar kesadarannya meningkat, bagi yang belum pernah Tapping, silahkan sadari nafas dulu, tarik perlahan, kemudian hembuskan secara perlahan, sambil diamati siapa ini yang sedang bernafas. Siapa ini yang sudah membuat kekeliruan, sadari saja, akui saja, diterima saja, dan dicintai, karena itu merupakan badian dari kita juga.

 

Nah, pirtinyiinyi (pertanyaannya) mengapa kok kita mudah sekali tertarik dengan hal-hal yang sifatnya “mudah” ini? Ya itulah manusia dengan default nya, kita semua dilahirkan dengan seperangkat default bawaan yang intinya adalah ‘survival’ alias bertahan hidup. Ini kalau tidak disadari (dalam mode autopilot) maka akan menjadi keseharian kita. Setiap saat berlomba menjadi “yang paling” entah paling apa itu namanya, tapi intinya sama, survival, biar tidak “tiada”. Intinya kita didesain untuk “takut mati”. Saya tidak mengatakan kalau ini salah, tetapi kalau seumur hidup kita hanya hidup karena “takut mati” takut nggak kebagian, takut rugi, takut kelihatan jelek di depan orang lain, dan banyak “takut” lainnya.

 

Dan kebiasaan kita yang mau mudahnya ini yang sebenarnya menutupi ‘kesadaran’ kita menutupi siapa diri kita yang sejati, karena hanya menuruti hasrat diri saja, tanpa benar-benar sadar dengan apa yang kita lakukan. Berjedalah sebentar sebelum melakukan sesuatu. Sediakan waktu untuk untuk hening sejenak.

 

Default = hasrat diri, kuatkan diri kita yang sejati dengan Tapping (C-EFT).

 

Jadi mau pilih yang mana ini? Yang Mudah atau yang Benar?

Friday, April 30, 2021

Harga.

30 April 2021


Apa sih harga itu?


Apakah sama dengan label?


Kenapa kita lebih memilih dihargai daripada dilabeli?


Kenapa kita lebih memilih dihargai daripada menghargai? 


Ini sebenarnya kesalahan makna karena bahasa Indonesia menggunakan kata yang sama untuk respect dengan price, jadi satu dengan kata 'harga'.


Jadi respect tidak sama dengan price, dan respect bukanlah label.


Respect lebih kepada penghormatan (biasanya disebut meng'harga'i). 


Kemudian respect itu, given? Earned ? Atau Must? 


Jawabannya adalah ketiga-tiganya. 


Given. 

Ketika kamu adalah keturunan bangsawan, atau ningrat. Jadi ini diberikan secara cuma-cuma karena merupakan hak dari sebuah sistem sosial dan budaya yang ada di masyarakat. 


Earned. 

Ketika respect didapatkan karena kamu melakukan sesuatu yang memang 'pantas' untuk memperolehnya. Artinya ini tidak serta merta diberikan secara cuma-cuma. Ini hanya diberikan kepada orang-orang yang benar-benar pantas mendapatkan nya. Contohnya pahlawan kemerdekaan, pahlawan perjuangan apapun itu, para patriot bangsa, martir, pekerja sosial nirlaba, sukarelawan dan orang-orang yang melakukan kebaikan - kebaikan tanpa ingin diketahui oleh orang lain selain dirinya sendiri. 


Must

Ini diberikan karena sebuah norma yang berlaku. Misalnya, diberikan kepada Orang tua, guru, pengajar, orang yang lebih tinggi posisi sosialnya, dan sistem subordinasi yang mendukung terjadinya hal ini.


Ujung-ujungnya kembali lagi kepada labeling, ketika perbuatan mulai dikelompokkan maka akan menjadi sebuah sistem. 


Oleh karena kalau mau berbuat baik tidak perlu ada alasannya. Ketika ada alasannya itu bukanlah hal yang murni, karena ada alasan dan harapan atau ekspektasi dari perbuatan baik itu. 


Ada juga yang maksudnya ingin berbuat baik, tetapi karena caranya tidak baik, tentu saja akhirnya menjadi tidak baik pula. Pun demikian dengan perbuatan baik yang didasari oleh pengakuan atau eksistensi diri. 


Biasanya perbuatan itu dipamerkan, maaf bahasa saya kasar. Kita re-frame lagi. 


Biasanya perbuatan itu di 'dokumentasikan' dan di upload ke media sosial. Ya sudah ini pada dasarnya sudah selesai karena tujuannya bukan melayani semesta tetapi melayani diri sendiri. 


Jangan khawatir, saya sendiri juga belum bisa kok, kadang saya juga masih mempertimbangkan pamrih. Karena hanya Tuhan lah yang tanpa pamrih. Tetapi paling tidak, kita bisa menyadari dan mengamati nya. Itu cukup, selebihnya keputusan ada di diri sendiri. 


Kembali lagi ke pertanyaan awal. Apakah kamu lebih memilih dihargai atau menghargai? 



Kalau saya terserah mau dihargai berapa. Yang penting saya menghargai orang lain seperti saya menghargai diri saya sendiri.


Semoga paham dan nggak bikin baper (bagi yang gampang baperan).

Ini Pun, Tak Akan Lama.

28 April 2021


Yang namanya sedih itu biasanya cuma sebentar, begitu pula dengan senang, biasanya juga nggak akan lama.

Lama atau sebentar itu sebenarnya relatif. Kalau nonton film yang kita tunggu-tunggu dengan durasi hampir 3 jam, menurut saya itu sebentar. Tapi kalau nunggu di antrian mau ke CS Bank tertentu, pasti nya 30 menit saja sudah terasa lama.


Jadi apapun itu tidak ada yang abadi, semuanya cuma 'sebentar' saja. Kemudian akan digantikan dengan yang lainnya.

Jadi hidup itu seperti air, tidak benar benar statis. Selalu dinamis, tergantung kita mau ngintir atau kintir. Ada kala nya berhasil seperti yang kita mau, ada kalanya gagal tidak seperti yang kita mau. Yang pasti tidak bisa selalu seperti yang kita mau.



Saya pernah tidak bisa menerima beberapa kenyataan bahwa saya merasa diperlakukan tidak adil oleh keadaan. Tapi kenyataan nya... Itu hanyalah sebuah fase dari sebuah rasa, karena jiwa ini hanyalah sebatas rasa bukan?

Seperti hal nya rasa manis tidak akan terasa benar-benar manis kalau kita tidak pernah merasakan yang pahit. Mana kita tahu kalau ini manis padahal kita belum tahu rasanya pahit?


Darimana kamu tahu kalau itu gelap sedangkan kamu sendiri belum merasakan terang?


Kadang kita tidak bisa hanya menerima informasi dari pengalaman subyektif dari orang lain. Kadang secara bawah sadar, kita 'ingin' merasakan pengalaman itu sendiri.


Ada kalanya kita pernah merasakan nya, tapi kita lupa bagaimana rasanya, sehingga secara tidak sadar kita mengulang nya kembali, kita ingin merasakan lagi 'rasa' itu. Itulah yang membedakan kita dengan keledai.


Karena ada pepatah mengatakan :

"Bahkan Keledai pun tidak akan terperosok di dalam lubang yang sama.".


Lha tapi kan kita manusia, bukan keledai. 😁


Sekali sekali tidak apalah, mengulang 'hal' yang sama 🤭.


Ini pun tak akan abadi, suatu saat media sosial akan dilarang, dan apa yang saya tuliskan bisa dihapus atau hilang.


Tapi tidak dengan apa yang saya tulis. 

Monday, April 26, 2021

Secukupnya.

24 April 2021

 

Tidak kurang tidak lebih, sesuai dengan yang seharusnya. Apa takarannya? Sebenarnya kita tahu tapi karena terlalu sering mengabaikan maka kita lupa seberapa cukupnya kita.

 

Seperti makan mie instan, satu kurang tapi dua kebanyakan. Kembali lagi kepada pilihan kita, mending mana? Kelebihan atau kekurangan. Semua pilihan adalah bebas, tapi tak pernah bisa bebas dari konsekuensi nya. Entah sekarang atau nanti tapi intinya adalah keseimbangan semesta.

 

Kapan sebaiknya kita mengatakan cukup? Kita sendiri lah yang menentukan nya.

 

Kelaparan sama nggak enaknya dengan kekenyangan. Yang enak ya ketika lapar bisa makan, ketika kenyang bisa bersyukur. Selebihnya hanyalah hasrat diri yang berakar dari masa lalu yang belum selesai.



Kalau saya ya Puji Tuhan dicukupkan. Selama diperjalankanNya, saya mau.

 

Kenapa selalu rindu, padahal Engkau tak pernah kemana-mana, Engkau meliputi ku, aku tinggal di dalam-Mu, tapi kenapa kok selalu timbul rasa cemas ditinggalkan oleh-Mu?

 

Walaupun di keramaian... Rinduku selalu pada-Mu.

Friday, April 23, 2021

 Hahaha…Hidup ini Memang untuk Ditertawakan

 

22 April 2021

 

Selama anda masih bisa menertawakan diri anda sendiri bahkan hidup anda artinya anda menerima kehadiran Tuhan. Menerima ke-Ilahi-an Nya.

 

Seperti yang pernah dikatakan oleh Dr. David R. Hawkins di dalam sebuah kuliahnya yang kelima “Conviction” tahun 2005. Di dalam sebuah segmentasi yang diberi judul “Humor It's Of Divine Origin” yang bisa saya artikan secara bebas adalah, “Humor itu berasal dari Keilahian”. Yang menurut saya adalah, ketika seseorang masih bisa melihat ‘kelucuan’dari penderitaannya adalah orang yang mampu melihat unsur keilahian di dalam semua hal. Tapi jangan disalah artikan bahwa ini adalah orang yang konyol atau tidak tahu menempatkan dirinya. Ini lebih kepada menertawakan dirinya sendiri ya, bukan menertawakan orang lain atau bahasa kerennya sekarang disebut sebagai bullying.

 


"...you realize that life is an endless practical joke..." begitu kata Dr. avid R. Hawkins di dalam kuliahnya. Ketika kita bisa menyadari bahwa hidup ini adalah sebuah lelucon yang tiada hentinya maka dengan sendirinya kita akan berhenti menyesali masa lalu dan berhenti mengkhawatirkan masa depan. Maka kita hidup penuh di masa sekarang. Bukankah kehidupan ini sudah selesai begitu diciptakan? Hanya saja kita menjalani realitasnya hari-per-hari, jam-per-jam, menit-ke-menit, dan detik-per-detik.

 

Kekhawatiran dan ketakutan adalah buah akan ketidak-percayaan kita kepada yang sudah dituliskan oleh-Nya?

 

Anda sendirilah yang menciptakannya, dan anda sendirilah yang mampu meniadakannya.

 

Sama halnya dengan Sakit dan Kesembuhan, dua hal yang saling terikat. Kalau sakit ya kita berkewajiban untuk berusaha sembuh, tetapi untuk sembuh bukanlah wewenang kita, karena itu sudah menjadi kehendakNya. Mengapa kita khawatir kalau nanti bisa sembuh atau tidak? Itu kan sudah menjadi kehendakNya, tapi kita tetap harus berusaha untuk sembuh karena ini sudah menjadi kewajiban kita ketika diberikan amanah olehNya untuk menjaga diri kita.

 

Beberapa kali saya menoleh kebelakang bukan untuk menangisi masa lalu tetapi untuk menertawakannya. “Hehehe…kok isok yo aku koyok ngono…hahaha…”. Maka selesailah penderitaan masa lalu saya yang dulu sempat menjadi ‘bahan’ kesedihan saya ketika sedang ‘down’.

 

Bahkan saat ini saya juga tertawa, ternyata ‘guyonanNya’ sangatlah serius.

 

Ingat juga bahwa ini bukanlah ‘represif’ maupun ‘satir’. Coba saja kalau kamu nggak mau lega dan plong kayak saya.

 

Aku bukanlah semua yang ter-LABEL dan ter-SURAT di diri saya. Aku adalah aku, tiada yang lain selain aku.

Wednesday, April 14, 2021

Kakean Alesan (Kebanyakan Alasan)

 09 April 2021

 

Iya benar, kita ini kebanyakan alasan, apapun itu, terutama jika melakukan sesuatu yang tidak kita sukai.

 

Bahkan untuk menghentikan kebiasan buruk pun, kita masih kebanyakan alasan. Begitu pun sebaliknya, ketika kita ingin berhenti dari kebiasaan buruk, kita selalu perlu alasan. Mengapa hatus menunggu ada alasannya dulu baru mau berhenti.

 

Hal ini sama seperti yang dulu saya alami ketika saya ingin berhenti merokok.

Alasan saya waktu itu:

  1. Merokok itu mahal, berapa harga rokok sekarang, bisa dibelikan apa saja itu uangnya?
  2. Merokok itu tidak sehat, baik untuk kita sendiri maupun bagi second hand smoker (orang yang ikut menghirup asap rokok kita).
  3. Merokok itu menghabiskan waktu, kalau yang kita lakukan hanya merokok tanpa melakukan kegiatan lainnya, adapun merokok sambil melakukan kegiatan lainnya yang merugikan orang lain juga ada, misalnya merokok sambil naik motor, abunya kalau berterbangan masuk ke mata orang lain bisa bahaya itu.

4.     Yang terakhir mungkin anda yang perokok bisa menambahkannya lagi, saya yakin anda juga ingin bisa segera berhenti merokok.


 

Itulah beberapa alasan yang saya gunakan untuk berhenti merokok pada saat itu. Kemudian bagaimana jika alasan-alasan yang saya gunakan untuk berhenti merokok itu tidak ada? Ya pastinya saya akan merokok lagi. Misalnya, saya baru dapat bonusan uang dari tempat saya kerja, maka alasan nomer 1 yang saya tulis tadi sudah tidak ada lagi, lha wong saya punya uang kok, ya jadi tidak mahal kan? Dan seterusnya apabila alasan-alasan saya untuk berhenti merokok ternyata tidak berarti lagi, maka saya akan merekok lagi.

 

Kemudian bagaimana saya akhirnya bisa berhenti merokok? Ya saya berhenti saja, pada saat itu, waktu itu, di hari itu saya tiba-tiba berhenti merokok tanpa alasan tanpa kebanyakan penjelasan. “Saya berhenti merokok ya karena saya berhenti merokok.”, dan selesailah saya dengan kebiasaan saya merokok. Saya tidak mengatakan merokok itu buruk untuk anda, ini kan cerita tentang saya bukan tentang kamu yang sedang baca tulisan ini, karena saya yakin kamu nggak punya kebiasaan buruk kayak saya ini.

 

Itu adalah contoh kebiasaan buruk saya, yang Puji Tuhan dengan ijin-Nya saya bisa berhenti melakukannya.

 

Bagaimana dengan kebiasaan buruk kita lainya? Kita sendirilah yang menentukan kapan kita mau merubahnya, bukan faktor di luar diri kita bukan lingkungan juga. Kita bebas menentukan pilihan kita, tetapi kita tidak bebas pada konsekuensi yang terikat di dalam kebebasan itu.

 

Kemudian baik atau buruknya sebuah perbuatan bukan hanya ditentukan oleh norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat di tempat kita tinggal, tetapi juga berangkat dari hati nurani kita masing-masing, pantaskah saya begini?

 

Pantes nggak sih saya begini?

Sikapmu Adalah Keadaanmu

 08 April 2021

 

Di suatu sore pulangnya saya dari nyeni saya sehari-hari, saya mendapat kabar dari seorang kawan yang lama tidak memberikan kabar, tidak ada angin tidak ada badai, beliau curhat kepada saya.

 


Katanya, “Aku cuma mau tanya aja, tapi jawabanmu cuma aku pakai gae pertimbangan tok kok, jadi gak usah mikiri akibate.”

 

Kawan saya ini seorang pemilik toko retail di salah satu Mall terbesar di surabaya, beliau memiliki sekitar 20 karyawan yang aktif bekerja di tokonya. Memang tidak terlalu besar tetapi cukuplah bagi dia untuk memiliki beberapa property dan kekayaan lainya.

 

Tanya saya kepadanya, “emange mau tanya apa kok kayake penting banget gitu?”

Jawabnya, “lho ya sakjane ya penting gak penting, tapi aku perlu pendapate orang lain sing di luar bisnisku ini.”

“O ya wis”, jawab saya kepadanya.

 

Jadi singkat cerita beliau termasuk pengusaha yang terkena imbas dari pandemi 2020, sudah ada beberapa karyawan yang dia rumahkan dengan janji akan di pekerjakan lagi apabila pandemi sudah berakhir, mungkin hingga saya menulis tulisan ini masih belum dipekerjakan lagi. Sekitar bulan september 2020, bisnisnya sudah buka kembali dan mulai ‘lancar’ kembali, walaupun tidak sebanyak tahun 2019, tetapi di akhir tahun 2020, beliau sudah bisa tutup buku dengan profit yang lebih tinggi dari tahun 2019.

Nah, yang beliau tanyakan adalah. “Ya ngene pertanyaanku ya, iki kan karyawan-karyawan ku sing sik kerjo sama aku iki kan tak gaji separuh, yo ada beberapa sing gak gelem trus metu tapi yo onok sik setia masio tak gaji separuh, soale aku janji nek toko ku wis pulih tak bayar utuh maneh gajine.”

Tanya saya padanya, “Lha saiki tokomu wis pulih opo durung nek menurut mu?”

Jawabnya, “Yo iyo wis pulih sih sakjane, tapi kan yo eman, nek aku balikno gajine utuh maneh, profitku kan malih berkurang tho boss, lha wong pemerintah ae sik durung ngumumno nek pandemine wis buyar tho? Kan berarti iki sik masa pandemi jadi kan yo wajar lah nek karyawanku sik tak gaji separuh, ya tho?”.

Kata saya padanya, “Yo terserah kamu aja Bro, kan ini ya bisnis kamu dewe, lagian kamu tadi kan yang nanya ke aku, tapi ingeten ya, bisnismu wis pulih tapi kesejahteraan karyawanmu kan durung mbok pulihno, nasib dan harkat hidupnya karyawanmu ada di tanganmu kamu yang menanggung semuanya, dan janji mu pasti akan ‘ditagih’ bukan oleh mereka tapi oleh ‘apapun itu’ yang akan menagih janjimu Bro, nek gak nang awakmu yo nang keturunanmu, wis ngono ae, nek aku isok ngomong yo”.

 

Jawab dia pada saya, “Yo ndak isa gitu lah boss, iki kan kondisi sik durung pasti, nek moro-moro PSBB maneh opo PKPM opo iku jarene pemerintah, trus mall e tutup piye? Toko ku lak mandeg, trus aku oleh opo nek gak nabung soko profitku iku?”

Jawab saya padanya, “Simple ae Bro, toko tutup ya mandeg, dan karyawanmu otomatis gak mbok gaji kan? Yo masalahe bukan nang awakmu thok tapi karyawanmu pun merasakan hal yang sama, coba pikirkan itu, pikirkan juga kalau karyawanmu itu mendoakan yang terbaik buat tokomu biar selalu bisa buka, karena mereka juga menggantungkan nasibnya pada tokomu iku, wis pikiren sek ae lah”.

Jawabnya pelan, “Iya bener juga ya Bro”.

Saya akhiri dengan, “Ya gini ae, nek misale kamu masih anggep ini belum pulih ya selamanya bisnismu nggak akan pulih, tapi kalau kamu bersikap bisnis mu sudah pulih dengan mengembalikan semua keadaan seperti sebelum pandemi, salah satunya dengan mengembalikan gaji karyawan-karyawan mu normal lagi, inget  ya Bro normal ini, bukan naikkan gaji karyawan lho, maka bisnis kamu akan normal lagi, wis gitu ae gampang e ya Bro.”

Dan kami akhiri pembicaraan kami, sore hingga malam itu dengan perbincangan lainnya selain bisnis yang beliau tanyakan kepada saya.

 

Mengapa hal-hal yang sedang saya geluti mengundang hal-hal yang sama dengan yang saya alami. Kadang Tuhan memang suka bercanda dengan sangat serius kepada umatNya.

 

Kita manusia kadang tidak paham dengan ‘CandaanNya’ sehingga kita suka mengeluh dan selalu bertanya kepadaNya “Mengapa begini Tuhan?”.

 

Selama kita masih bisa menertawakan diri kita sendiri sebenarnya kita bisa menerima candaanNya.

Monday, April 12, 2021

Keterpisahan

19 Maret 2021

 

Pernahkah kita mengalami di dalam suatu kelompok, baik itu di lingkungan rumah, di tempat kerja atau mungkin di sekolah atau di tempat kuliah. Ada satu individu yang kita rasa sikapnya “Nyeleneh”? Pasti ada kan? Puji Tuhan kalau ternyata nggak ada.

 

Nah, bagaimana sikap kita terhadap mereka yang kita anggap “berbeda” tersebut? Benci? Marah? Merasa kasiha? Atau malah kita cuek aja? Contoh sederhananya di lingkungan tempat tinggal kita, dimana semua warganya memiliki kesepakatan bersama mengenai sesuatu, semuanya benar-benar membuat satu suara yang bulat, sampai tiba akhirnya datang satu individu yang berkata berbeda dan bersikap resisten terhadap keputusan yang dibuat bersama. Pasti ada yang tidak suka, adayang marah, ada yang benci bahkan mungkin ada yang tidak peduli.

 

Saya pernah mengalaminya, dan itu mempengaruhi sikap, perilaku dan perasaan saya terhadap individu tersebut. Apakah ini salah? Tentu tidak, karena manusia sebagai raga diciptakan untuk bertahan hidup by default, harus survived. Tapi apakah saya adalah raga? Tentu saja bukan. Saya adalah Ruh yang di manifestasikan sebagai raga ini. Apakah kita mau dikontrol oleh raga, yang ternyata bukan diri kita yang sejati.

 

Bagaimana dengan jiwa saya sebagai warga yang terlanggar haknya karena ada yang melanggar kesepakatan bersama itu? Ya pastinya jiwa saya yang sebagai warga itu juga pasti akan terusik memicu detak jantung saya setiap kali bertemu dengan individu tersebut. Bahkan dengar namanya di sebut atau dengar individu itu berbicara saja jiwa saya sudah bergejolak.

 

Kemudian apa yang harus dilakukan? Masih ingat ya ketika raga dan jiwa kita sedang mengalami sakit? Saya yakin anda masih ingat.

 

Yaitu dengan menyatakan keterpisahan kita terhadap rasa sakit itu, nyatakan bahwa saya bukan rasa sakit itu.

 


Tapi bagaimana dengan orang yang “kita benci” tersebut, saya pernah mencoba melakukan cara yang sama dengan “rasa sakit” seperti yang saya sebutkan di atas, hasilnya… TAMBAH NEMEN, jadi ketika saya lihat individu tersebut lewat di depan mata saya, saya malah ingin marah 10 kali lipat dari biasanya… Lho kok gitu kok tidak bisa kita perlakukan yang sama dengan penyakit atau rasa sakit? Bukannya mereka sejenis ya? 😁😂🤣

 

Tapi saya pehami dengan cara yang sulit dan harus mengalaminya sendiri. Saya baca tulisan Pak Bagus Herwindro, bahwa kita manusia dan segala ciptaan di dunia ini adalah satu kesatuan, sehingga ada keilahian di dalam setiap ciptaan-Nya. Dengan mengangguk-angguk (sama seperti yang anda lakukan sekarang ini). Saya memahami bahwa saya dan individu yang saya “benci” itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, kita semua terikat, sehingga tidak mungkin saya “benci” diri saya sendiri kan?

 

Jadi apa yang saya lakukan? Ya saya nyatakan ketidak-terpisahan saya. “Saya adalah bagian dari dirinya dan dirinya adalah bagian dari saya” sambil saya lihat individu tersebut. Ya kalau “benci”nya agak banyak, boleh diucapkan sampai beberapa kali… yang muncul kemudian adalah rasa CINTA yang berasal dari dalam diri terhadap seluruh ciptaanNya. Rasa yang harus dialami sendiri untuk tahu rasanya itu seperti apa…

 

Mau mengalami rasa CINTA ini? (angguk-angguk kepala).

Jatuh

10 Maret 2021

 

Semua orang pasti pernah “jatuh” apapun itu bentuknya, baik jatuh secara fisik maupun jatuh dalam bentuk lainnya yang mengarah kepada keterpurukan. Jatuh, kalau dilihat dari positioning nya itu adalah, dari kondisi kita berdiri kemudian terjatuh ke bawah, bisa juga duduk kemudian terjatuh ke bawah, semuanya mengarah ke “bawah”, atau level paling dasar kalau kita bicara ruang dan waktu (dualitas).

 

Mengapa kok jatuhnya ke bawah kok nggak ada yang jatuh ke atas? Karena ada gaya gravitasi, karena kita terperangkap di dalam dimensi ruang-waktu 1, 2 dan 3. Kalau misalnya tidak gravitasi ya kita pasti tidak akan pernah jatuh bukan? Tapi tidak hanya itu karena kita terperangkap oleh analogi kasualitas yang mengatakan mengenai hukum sebab akibat yang linear.

 


Sama seperti hari ini, saya jatuh dari tangga, ketika akan menuruni anak tangga, tanpa berpikir saya melewatkan beberapa anak tangga tanpa melihat yang berakibat jatuhlah saya ke bawah, tangan kanan menahan tubuh yang jatuh tulang kering kaki kiri mengenai pinggiran anak tangga, yang berakibat “babras” kalau orang surabaya menyebutnya. Sakit? Ya iya lah, kan masih berada di di dimensi ruang-waktu, kalau saya sih nggak, tapi badan saya iya. Begitu berdiri, kaki kiri masih tidak mau diajak jalan, jadinya terpincang-pincang. Duduk sebentar di kursi, kemudian saya usap dibagian yang sakit sambil saya niatkan untuk hilang dan sekalian saya minta maaf pada kaki saya yang sakit. Kemudian sudah bisa digunakan lagi dengan normal walaupun meninggalka lecet dan memar, tapi tubuh sudah tidak merasakan sakit lagi deibandingkan dengan pertama kali jatuh. Sudah sesuai dengan kehendak-Nya.

 

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti pernah jatuh juga. Pepatah ini abadi dan benar adanya. Artinya walaupun kita sudah beberapa kali berusaha untuk berhati-hati agar tidak jatuh, tapi kalau sudah sekehendak-Nya jatuh ya pasti jatuh juga. Tapi bukan berarti kita tidak berhati-hati pada setiap langkah kita. Kalau saya jatuh karena pikiran saya tidak sinkron dengan tubuh saya, jadi saya malas memberi kesadaran ketika saya melangkah, enak saja saya minta bawah sadar saya yang mengendalikan kaki saya, akhinya saya jatuh juga karena saya kurang menghargai kaki saya yang selama ini sudah menemani kemana saja saya melangkah… maafkan aku ya “Kik” panggilan saya untuk kaki saya. Kalau anda? Saya yakin anda selalu melakukan segala sesuatunya dengan kesadaran penuh bukan? Bahkan sambil membaca tulisan ini anda juga menyadari nafas anda bukan?

 

Yang berkekurangan akan dicukupkan, yang berlebih akan dicukupkan, yang tinggi akan direndahkan dan yang rendah akan ditinggikan… Terima kasih Tuhan saya sudah diingatkan kembali untuk ingat akan asal saya sebagai cipataan-Mu, mengapa saya masih saja merasa lebih tinggi dari ciptaan-Mu yang lainnya…

 

Jatuh sudah pasti sesuai dengan kehendak-Nya, tapi sembuh dari sakit karena “jatuh” itu adalah kehendak bebas dari kita manusia…

 

Boleh ya sembuh?

Tuesday, April 6, 2021

Pertukaran

 08 Maret 2021

 

Semesta itu tentang keseimbangan, seperti Yin dan Yang. Bagi yang kekurangan maka akan dicukupkan, bagi yang kelebihan maka akan di kurangkan. Ada yang mati maka akan ada yang hidup demikian pula sebaliknya. Apa yang kita lempar ke semesta pasti akan kembali lagi ke diri kita sendiri apapun itu dan waktunya tidak bisa ditentukan. Sama dengan prinsip tabur-tuai. Kosongkan dirimu maka kamu akan di-isi. Cintai segala bentuk kehidupan dan ciptaan yang ada di dunia ini, karena pada dasarnya ada keilahian di dalam setiap ciptaan-Nya.

 

Hal-ini saya dapatkan dari Pak Bagus, beliau bukanlah apa-apa dan siapa-siapa, beliau hanya di percayakan oleh Sang Ilahi untuk membukakan mata hati saya untuk melihat bukan dengan mata tetapi melihat melalui mata. Karena yang melihat bukan mata itu sendiri melaian yang ada di balik mata tersebut. Pernahkah anda melihat hanya pada yang nampak secara visual saja? Saya pernah dan sering malah. Tetapi kemudian saya menyesalinya karena yang saya lakukan berikutnya memberikan penilaian dari apa yang nampak secara visual saja, menilai hanya pada yang saya rasakan saja.

 

Beliau mengajarkan pada saya bahwa yang kita terima pertama itu yang sejati, sebelum kemudian diolah oleh penginderaan, nalar dan analisa pikiran manusia. Nah, bingung kan? Karena pada dasarnya manusia itu berusaha me-rasionalkan segalanya, menimbang untung-ruginya. Itu sudah merupakan nature manusia. Bagaimana kita bisa melihat yang sejati? Sediakan waktu hanya untuk diri kita sendiri untuk hening, hening dalam keheningan bagi yang belum bisa seperti saya, biasanya perlu bantuan headphones dan musik agar tidak terganggu. Alangkah baiknya bila kita bisa hening dalam keramaian.

 

Semakin saya memahami jati diri saya, maka semakin peka saya terhadap apa yang terjadi dengan diri saya, sekitar saya bahkan orang lain yang jaraknya sangat jauh dengan saya. Begitu kita merasa sudah semakin paham, itulah saatnya ujian yang sesungguhnya datang.

 


Dua hari dibisakan untuk mengikuti Workshop SEMEDI (SEni MEmberdaya DIri), saya niatkan sebagai pertukaran saya terhadap masalah yang sedang saya hadapi. Saya dimampukan untuk merendahkan diri saya yang semakin lama semakin tinggi hati. Sudah merasa yang paling bisa, sudah merasa yang paling bijak. Padahal itulah ujian yang sesungguhnya... DIRI SENDIRI. Sampai akhirnya saya paham bahwa semuanya ini sudah benar adanya, saya dibisakan bukan karena saya bisa dan mampu, tetapi karena sudah tertuliskan di sana. Bahwa semuanya ini bagian dari rancangan-Nya yang sudah selesai. Hanya saja kita belum mengalaminya sehingga kita masih menganggap kehidupan ini adalah “MISTERI”.

 

Iya misteri bagi kita yang tidak punya kuasa atas ini semua, tetapi bagi Sang Pencipta, ini semua sudah selesai. Begitu semesta diciptakan, begitu pula selesai. Alpha dan Omega (Awal dan Akhir). Hanya perlawanan kita atas apa yang sudah dikehendaki-Nya itu yang membuat kita semakin menderita. Rasa ketidak-terimaan kita atas apa yang kita alami, semua pertanyaan “Mengapa?” yang kita lontarkan kepada-Nya ini yang semakin membuat diri kita semakin merasa kesepian.

 

Begitulah, pada dasarnya ini semua sudah selesai, tinggal kita menerima dan menjalankannya saja, karena pada dasarnya kita ini hanya di-jalan-kan dan di-mampu-kan saja oleh-Nya. Tidak ada yang benar-benar kita jalankan atau kita mampukan sendiri. Ingat, pasrah bukan menyerah. Heninglah maka kita akan menemukan jawabannya.

 

Puji Syukur Pada-Nya atas Dimampukannya saya menulis ini…

Sembuh (bukan) Keajaiban

 02 Maret 2021


Kita hidup di jaman yang sudah di-doktrinisasi oleh perusahaan-perusahaan Farmasi Besar yang mewarisi budaya luar negeri bahwa kalau mau sembuh ya HARUS ke Dokter kemudian minum OBAT yang diresepkan oleh Dokter. Kalau tidak dilakukan maka TIDAK AKAN PERNAH SEMBUH. Ini yang selalu diulang-ulang terus di siaran Televisi Nasional, di iklan yang ada di radio dan media cetak lainnya. Sekarang merambah dunia Informasi Teknologi juga, bahkan ada aplikasi yang dengan mudahnya menghubungkan kita dengan dengan Dokter secara instan, tanpa harus tatap muka atau beranjak dari tempat kita sekarang, hanya tinggal menyentuh layar ponsel saja.

 

Begitu mudahnya akses seseorang untuk mendapatkan obat, untuk menghubungi dokter. Saya tidak mengatakan ini karena saya benci Dokter dan obat-obatan kimia, tetapi saya mengatakan ini karena kita sudah lupa pada sejatinya diri kita yang terhapus karena doktrinisasi yang kita terima setiap hari dan kita menerimanya dengan tangan terbuka. Apalagi sekarang ada Pandemi CVD-19 yang sedang berlangsung hingga saat saya menulis tulisan ini, “event “ ini bisa dijadikan “alasan” yang “pas” bagi produsen obat-obatan, alat kesehatan, seluruh industri farmasi dan semua yang terkait di dalamnya.

 

Kita menjadi tidak berdaya menerima “fakta” yang dibentuk oleh media dan informasi bahwa kalau sembuh atau kesembuhan adalah sebuah keajaiban dan keajaiban itu hanya bisa dicapai apabila kita mengkonsumsi atau “pergi” ke Dokter. Hanya itulah satu-satunya cara seperti yang tertulis di media sperti yang di informasikan di mana-mana.

 

Padahal Sembuh atau Kesembuhan itu bukanlah suatu keadaan tidak ada menjadi ada. Kesembuhan atau sembuh itu sudah sejatinya kita sebagai manusia yang merupakan Citra dari Tuhan. Jadi tidak ada itu kata “SEMBUH” karena sejatinya kita adalah “SEHAT” yang artinya tidak sakit. Akan lebih baik apabila dikatakan kita kembali ke kondisi awal kita sebagai manusia.

 


Dengan ini kita menyatakan pencabutan label “Sakit” dan “Sembuh” yang sering didoktrin kepada pikiran dan pemahaman kita. Pemikiran yang mengacu kepada Dualitas, pengkutuban. Jadi lain kali kalau ditanya ya dijawab, “Ya gini ini” dengan itu maka kita hilangkan penamaan “labeling” yang biasanya kita lakukan untuk menamai kondisi yang kita rasakan saat ini. Dan dengan ini pula kita menjadikan diri kita sebagai diri kita yang SEJATI.

 

Seperti sekarang ini, saya sedang mengalami “ngene iki” tapi sekarang sudah bisa kembali ke diri saya yang “SEJATI”.

 

Matur Nuwun Gusti 🙏

Tuesday, January 26, 2021

 Tumpah

 26 Januari 2021

 

Seperti itulah perumpamaan bagaimana kita bereaksi tanpa jeda, yang ada adalah subconscious atau alam bawah sadar kita yang mengambil alih. Ketika kesadaran kita sedang tidak bisa membutuhkan apa yang harus dilakukan segera maka subconscious inilah yang mengambil alih.

Emosi yang ditunjukkan bisa macam-macam, bisa marah, sedih, kaget, takut, jijik bahkan mungkin malah freeze atau terdiam. Disinilah penting nya untuk menyadari nafas, sadar setiap tarikan dan hembusan nafas kita. Merasakan kesegaran ketika kita menariknya dan merasakan kelegaan ketika menghembuskannya.

Nafas adalah penanda hidup, pemberi hidup dan salah satu anugerah luar biasa dari Tuhan. Maka diciptakan lah subconscious untuk mengendalikan nafas kita, agar kita selalu ingat untuk ber nafas. Walaupun itu dilakukan autonomously oleh subconscious kita.

Menyadari nafas adalah salah satu upaya kita menyadari keberadaan kita, menyadari kalau kita sedang bernafas... Saya yakin ketika anda membaca tulisan ini pasti sekarang anda sedang menarik nafas lebih panjang dan menghembuskannya lebih lama dari biasanya. Itulah anda yang sejati, anda yang sedang menarik nafas ini.

Expresi dari subconscious kadang mengagetkan diri kita sendiri mungkin kadang berujung pada penyesalan.

"Ngapain saya tadi marah-marah ya? Wong cuma gitu aja kok marah?"

 

Kutah

Seperti itulah luapan emosi yang di kendalikan oleh subconscious, instan, meluap, dan tumpah. Sama seperti kopi pagi saya yang tumpah karena ketidak sengajaan ini. Begitu pula kemarahan yang tidak sengaja, sudah tumpah tidak mungkin bisa saya masukkan kembali ke  gelas kertas kopi saya ini. Kemarahan tidak mungkin bisa saya UNDO lagi, saya menyesal, yang kena marah saya sudah terlanjur terluka.

Untuk itu sebisa mungkin kita didik subconscious kita untuk bernafas dulu setiap menghadapi peristiwa yang mengaduk-aduk emosi kita.

 

Sudahkah anda bernafas hari ini? (Quote harian dari Pak Bagus Herwindro, terima kasih Pak)

Monday, January 25, 2021

 Kisah Tentang Pinggiran Roti (Kulit Roti)

 25 Januari 2021

 

Ini merupakan tulisan pertama di tahun 2021, mengapa saya lama tidak menulis ya karena alasan klasik, “tidak sempat” bukan karena materinya yang tidak ada bukan karena waktunya yang tidak ada, akan tetapi “hati” ini yang tidak sempat hadir di dalam tulisan tersebut. Hari ini saya menulis lagi, semoga berkenan.

Jadi ini merupakan kisah tentang pinggiran roti atau biasa kita sebut sebagai “Kulit Roti”. Pinggiran roti ini bukanlah selera semua orang. Bagi beberapa orang memang sengaja dibuang atau tidak dimakan karena selain warnanya beda dari “roti” itu sendiri, mereka juga memiliki tekstur dan rasa yang berbeda pula, sekali lagi bukan selera semua orang. 

Sampai-sampai ada beberapa toko roti yang menyediakan roti tawar kupas atau roti tawar putih. Yaitu Roti yang bagian pinggirannya atau kulit rotinya sudah dikupas atau sudah dipotong. Sehingga bagi siapapun yang membelinya sudah tidak repot-repot lagi memotongnya atau mengupasnya lagi, sudah tinggal dimakan saja.

Mari kita mundur lebih jauh lagi bagaimana sebuah roti dibuat oleh seorang pembuat roti (Baker) yang mengolahnya sehingga menjadi roti yang siap kita makan. Jadi bahan pembuat roti biasanya terdiri dari bahan utama yaitu tepung terigu, ragi, air, minyak sedikit dan garam atau gula, atau bisa keduanya. Sekarang tergantung baker yang menentukan akan menjadi roti seperti apakah ini nanti, apakah roti tawar atau roti dengan rasa tambahan lainnya. Inti bahan pembuatnya sama semua untuk semua roti. Adonan diolah dan dicampur kemudian di uleni (knead) dengan sepenuh hati hingga sesuai dengan keinginan dari baker seperti apa nanti roti ini jadinya.

Setelah itu dimasukkan ke oven untuk dipanggang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk membuat roti tersebut. Kemudian setelah matang dan selesai roti dikeluarkan dari pangganganan dan didinginkan di suhu ruagan dan kemudian dikemas siap untuk dijual atau dihidangkan.

Pinggiran Roti

Jadi roti dan pinggirannya pada dasarnya terbuat dari bahan yang sama, diolah oleh baker yang sama, mengalami proses pengolahan dan pemanggangan yang sama, tapi kenapa kita membedakan antara pinggiran roti dengan roti yang pada dasarnya mereka itu sama?

Padahal kalau di telusuri kembali untuk bagian roti terluar atau kulit roti ini sangat berjasa melindungi tengah roti ini agar tidak ikut kering seperti pinggiran roti yang terpapar panasnya oven secara langsung?

Mengapa kita masih menganggap Kulit Roti ini tidak pantas kita makan bersamaan dengan tengah roti yang selama ini di naungi oleh kulit roti agar mereka bisa menjadi roti yang putih bersih dan tidak gosong?

Bukankah ini sama saja seperti kita memperlakukan orang lain yang kita rasa lebih hina dari kita? Orang lain yang kita anggap lebih jahat dari kita? Orang-orang yang jahat terhadap kita?

Kita apakah orang-orang tersebut? Iya benar sekali…. Kita singkirkan dan kita buang, karena orang-orang itu tidak pantas “sepiring” dengan kita bukan?

Padahal mereka yang jahat kepada kita itu terbuat dari bahan yang sama dengan kita, mereka juga berasal dari “Baker” yang sama dengan kita yaitu Tuhan?

Bukankah kalau kita menghina mereka adalah sama dengan menghina “Baker” nya yaitu Tuhan?

Sekarang kalau sudah tahu mau apa kita?

Waraz.

𝗜𝗡𝗚𝗜𝗡 𝗧𝗔𝗛𝗨 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗜𝗡𝗚?𝗠𝗔𝗨 𝗕𝗘𝗟𝗔𝗝𝗔𝗥 𝗝𝗔𝗗𝗜 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗘𝗥? 👇👇👇 Baca...