10 Maret 2021
Semua orang pasti pernah “jatuh” apapun itu bentuknya, baik
jatuh secara fisik maupun jatuh dalam bentuk lainnya yang mengarah kepada keterpurukan.
Jatuh, kalau dilihat dari positioning nya itu adalah, dari kondisi kita berdiri
kemudian terjatuh ke bawah, bisa juga duduk kemudian terjatuh ke bawah,
semuanya mengarah ke “bawah”, atau level paling dasar kalau kita bicara ruang
dan waktu (dualitas).
Mengapa kok jatuhnya ke bawah kok nggak ada yang jatuh ke
atas? Karena ada gaya gravitasi, karena kita terperangkap di dalam dimensi
ruang-waktu 1, 2 dan 3. Kalau misalnya tidak gravitasi ya kita pasti tidak akan
pernah jatuh bukan? Tapi tidak hanya itu karena kita terperangkap oleh analogi
kasualitas yang mengatakan mengenai hukum sebab akibat yang linear.
Sama seperti hari ini, saya jatuh dari tangga, ketika akan
menuruni anak tangga, tanpa berpikir saya melewatkan beberapa anak tangga tanpa
melihat yang berakibat jatuhlah saya ke bawah, tangan kanan menahan tubuh yang
jatuh tulang kering kaki kiri mengenai pinggiran anak tangga, yang berakibat
“babras” kalau orang surabaya menyebutnya. Sakit? Ya iya lah, kan masih berada
di di dimensi ruang-waktu, kalau saya sih nggak, tapi badan saya iya. Begitu
berdiri, kaki kiri masih tidak mau diajak jalan, jadinya terpincang-pincang.
Duduk sebentar di kursi, kemudian saya usap dibagian yang sakit sambil saya
niatkan untuk hilang dan sekalian saya minta maaf pada kaki saya yang sakit.
Kemudian sudah bisa digunakan lagi dengan normal walaupun meninggalka lecet dan
memar, tapi tubuh sudah tidak merasakan sakit lagi deibandingkan dengan pertama
kali jatuh. Sudah sesuai dengan kehendak-Nya.
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti pernah jatuh juga.
Pepatah ini abadi dan benar adanya. Artinya walaupun kita sudah beberapa kali
berusaha untuk berhati-hati agar tidak jatuh, tapi kalau sudah sekehendak-Nya
jatuh ya pasti jatuh juga. Tapi bukan berarti kita tidak berhati-hati pada
setiap langkah kita. Kalau saya jatuh karena pikiran saya tidak sinkron dengan
tubuh saya, jadi saya malas memberi kesadaran ketika saya melangkah, enak saja
saya minta bawah sadar saya yang mengendalikan kaki saya, akhinya saya jatuh
juga karena saya kurang menghargai kaki saya yang selama ini sudah menemani
kemana saja saya melangkah… maafkan aku ya “Kik” panggilan saya untuk kaki
saya. Kalau anda? Saya yakin anda selalu melakukan segala sesuatunya dengan
kesadaran penuh bukan? Bahkan sambil membaca tulisan ini anda juga menyadari
nafas anda bukan?
Yang berkekurangan akan dicukupkan, yang berlebih akan
dicukupkan, yang tinggi akan direndahkan dan yang rendah akan ditinggikan… Terima
kasih Tuhan saya sudah diingatkan kembali untuk ingat akan asal saya sebagai
cipataan-Mu, mengapa saya masih saja merasa lebih tinggi dari ciptaan-Mu yang
lainnya…
Jatuh sudah pasti sesuai dengan kehendak-Nya, tapi sembuh
dari sakit karena “jatuh” itu adalah kehendak bebas dari kita manusia…
Boleh ya sembuh?
No comments:
Post a Comment