19 Maret 2021
Pernahkah kita mengalami di dalam suatu kelompok, baik itu di
lingkungan rumah, di tempat kerja atau mungkin di sekolah atau di tempat
kuliah. Ada satu individu yang kita rasa sikapnya “Nyeleneh”? Pasti ada kan?
Puji Tuhan kalau ternyata nggak ada.
Nah, bagaimana sikap kita terhadap mereka yang kita anggap
“berbeda” tersebut? Benci? Marah? Merasa kasiha? Atau malah kita cuek aja?
Contoh sederhananya di lingkungan tempat tinggal kita, dimana semua warganya
memiliki kesepakatan bersama mengenai sesuatu, semuanya benar-benar membuat
satu suara yang bulat, sampai tiba akhirnya datang satu individu yang berkata
berbeda dan bersikap resisten terhadap keputusan yang dibuat bersama. Pasti ada
yang tidak suka, adayang marah, ada yang benci bahkan mungkin ada yang tidak
peduli.
Saya pernah mengalaminya, dan itu mempengaruhi sikap,
perilaku dan perasaan saya terhadap individu tersebut. Apakah ini salah? Tentu
tidak, karena manusia sebagai raga diciptakan untuk bertahan hidup by default,
harus survived. Tapi apakah saya adalah raga? Tentu saja bukan. Saya adalah Ruh
yang di manifestasikan sebagai raga ini. Apakah kita mau dikontrol oleh raga,
yang ternyata bukan diri kita yang sejati.
Bagaimana dengan jiwa saya sebagai warga yang terlanggar
haknya karena ada yang melanggar kesepakatan bersama itu? Ya pastinya jiwa saya
yang sebagai warga itu juga pasti akan terusik memicu detak jantung saya setiap
kali bertemu dengan individu tersebut. Bahkan dengar namanya di sebut atau
dengar individu itu berbicara saja jiwa saya sudah bergejolak.
Kemudian apa yang harus dilakukan? Masih ingat ya ketika raga
dan jiwa kita sedang mengalami sakit? Saya yakin anda masih ingat.
Yaitu dengan menyatakan keterpisahan kita terhadap rasa sakit
itu, nyatakan bahwa saya bukan rasa sakit itu.
Tapi bagaimana dengan orang yang “kita benci” tersebut, saya
pernah mencoba melakukan cara yang sama dengan “rasa sakit” seperti yang saya
sebutkan di atas, hasilnya… TAMBAH NEMEN, jadi ketika saya lihat individu
tersebut lewat di depan mata saya, saya malah ingin marah 10 kali lipat dari
biasanya… Lho kok gitu kok tidak bisa kita perlakukan yang sama dengan penyakit
atau rasa sakit? Bukannya mereka sejenis ya? 😁😂🤣
Tapi saya pehami dengan cara yang sulit dan harus mengalaminya
sendiri. Saya baca tulisan Pak Bagus Herwindro, bahwa kita manusia dan segala
ciptaan di dunia ini adalah satu kesatuan, sehingga ada keilahian di dalam
setiap ciptaan-Nya. Dengan mengangguk-angguk (sama seperti yang anda lakukan
sekarang ini). Saya memahami bahwa saya dan individu yang saya “benci” itu
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, kita semua terikat,
sehingga tidak mungkin saya “benci” diri saya sendiri kan?
Jadi apa yang saya lakukan? Ya saya nyatakan
ketidak-terpisahan saya. “Saya adalah bagian dari dirinya dan dirinya adalah
bagian dari saya” sambil saya lihat individu tersebut. Ya kalau “benci”nya agak
banyak, boleh diucapkan sampai beberapa kali… yang muncul kemudian adalah rasa
CINTA yang berasal dari dalam diri terhadap seluruh ciptaanNya. Rasa yang harus
dialami sendiri untuk tahu rasanya itu seperti apa…
Mau mengalami rasa CINTA ini? (angguk-angguk kepala).
No comments:
Post a Comment