Friday, October 2, 2020

Memori dan Emosi yang Terkandung di Dalamnya

 

30 September 2020

Kalau membaca judulnya bisa dikatakan juga “Emosi yang terkandung di dalam sebuah kenangan”. Lebih mirip judul novel ya? Mungkin sudah saatnya saya nulis novel juga ya….(Yang setuju boleh komen “Setuju” di bawah).

Seperti halnya kejadian yang kita alami sekarang, dan membuat emosi kita bergerak, memori atau kenangan tertentu pasti membuat emosi kita tergerak lagi. Jadi ketika kita ingat peristiwa tertentu pasti ada emosi yang menyertainya. Kalau nggak ada ya berarti kenangan atau memori tersebut tiak terlalu berkesan bagi anda.

 


Mengapa seperti itu? Karena pada dasarnya pikiran kita tidak bisa membedakan apakah peristiwa ini sedang berlangsung ataukah hanya kenangan saja. Sehingga ketika peristiwa yang kita pikirkan mengembalikan memori yang sama (mengingatkan kepada) hal yang pernah terjadi maka emosi kita ikut menyertai kenangan tersebut. Ini merupakan proses yang alamiah yang terjadi pada pikiran, perasaan dan tubuh manusia.

Ada beberapa orang yang bisamengatasinya, mencari pengalihan, mencoba untuk menekan perasaan tersebut, atau mungkin ada yang berusaha mencari kesembuhan dengan menerima kejadian itu dengan pengakuan penuh. Sehingga ketika peristiwa itu teringat kembali maka yang muncul hanya kenangannya saja tanpa disertai dengan emosi yang terkandung di dalamnya.

Mari kita bersama-sama mengingat kembali kenangan yang pahit saja, yang kalau kita ingat itu, rasa emosi ikutan kembali bersama kenangan itu…..Pasti ada, coba pikirkan satu saja yang paling menyakitkan yang kalau ingat kita jadi ingin marah atau ingin menangis, ingin memukul-mukul sesuatu, atau ingin mebanting-banting barang…..Atau ada peristiwa yang menyakitkan hati maupun fisik kalau ingat ada bagian tubuh tertentu yang sakit? Kalau memang seperti itu memang sangatlah wajar…ini laha yang menghambat kita untuk maju kedepan, berkembang dan istilah kerennya “Move On”.

Bagaimana caranya untuk “overcome” emosi yang terkandung di dalam kenangan ini? Kalau parah biasanya bisa jadi phobia, kadang phobia juga bisa jadi proses belajar atau meniru, tetapi kalau ini phobia terjadi karena kenangan masa lalu yang membuat trauma. Jadi caranya ada macam-macam, ada yang harus mengalami lagi (regresi) sampai benar-benar hilang emosi yang ada di dalam memori tersebut, sebuah teknik yang saya alami sendiri dan dimentori oleh Bang Aswar, salah satu mentor saya yang berkiblat pada hasil penelitian dari Dr. David R. Hawkins, MD., Phd. Dengan teknik mentransendensikan kesadaran (Trancending the Level of Consciousness). Sedangkan ada cara lainnya lagi dengan meredakan emosi melalui teknik THT (The Heart Technique) seperti yang pernah saya pelajari dari salah satu Hypnotherapist terkenal di Surabaya, Pak Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., M.Pd., CCH. Dan masih banyak lagi caranya, kalau anda TIDAK tertarik untuk TIDAK dibantu boleh dong untuk TIDAK menghubungi saya.

Salah satu alasan yang sering muncul ketika seseorang tidak ingin dibantu untuk “overcome” masalahnya adalah, kesalahan indentifikasi diri. Ini pernah terjadi pada salah satu teman saya yang latah. Dia bercerita bahwa latahnya itu bukan dari anak-anak, tapi ketika dia beranjak dewasa, ada salah satu public figure yang dia lihat memiliki latah, dan entah dari mana asalnya, akhirnya dia ikutan latah juga sampai-sampai dia sendiri tidak bisa mengendalikannya. Dengan harapan bisa meredakan latahnya atau bahkan menghilangkannya, dia bertanya pada saya.

“Apa latahku ini bisa hilang tha?”

“Yo bisa lah, kan bukan bawaan lahir” begitu jawab saya.

“Lho tapi kalau hilang apa bisa balik lagi ya?”, tanya dia menegaskan kembali.

“Yo kalau sudah hilang ya gak balik lagi lah, atau mau balik lagi ya bisa”, kata saya,

“Tapi tak pikir-pikir lagi nanti kalau ilang malah orang gak kenal saya, soalnya saya terkenal latahan”. Gitu pungkasnya.

Dan begitulah, ketika seseorang mengidentifikasi dirinya tidak tepat, maka dia tidak akan terlepas dari penderitaannya. Mau dibantu seperti apapun itu dengan teknik termutakhir seperti apapun itu pasti tidak akan bisa sembuh tidak akan bisa “overcome” masalahnya. Dan saya yakin anda TIDAK begitu, pasti anda mau untuk TIDAK dibantu dan saya yakin anda TIDAK punya masalah.


Boleh kan sembuh? Mau kan sembuh?


Kalau TIDAK mau, boleh lah TIDAK menghubungi saya…. Sudah, sekian, terima kasih.


Monday, September 28, 2020

 Memantaskan Diri

 28 September 2020

Kalau kita berbicara kepantasan ini ukurannya pasti beda-beda tiap individu, htergantung kepada latar belakang sosialnya, tergantung pada ukuran dari kepantasan masing-masing, saya tidak akan menyebutkan contohnya karena nanti pasti akan menyinggung beberapa individu yang ukuran “kepantasannya” tidak sama dengan saya.



Intinya begini, ketika anda itu merasa pantas untuk anda berikan kepada orang lain ya berarti itulah ukuran yang anda tetapkan untuk diri anda sendiri, itu kalau menurut saya. Jadi ketika anda merasa itu pantas untuk orang lain, ya seperti itulah anda menghargai diri anda sendiri.

Jadi bagaimana memantaskan diri kita sendiri, ya dengan memantaskan orang lain, melihat mereka sebagai individu yang sama dengan kita, sama-sama ciptaan Tuhan. Tanpa melihat latar belakang sosial dan label yang tersemat pada diri mereka. Melihat dalam di dalam diri mereka yang sejati.

Kalau di budaya ke-timur-an, biasanya tidak sopan untuk menatap mata (Eye Contact) kepada orang yang kita ajak bicara, terutama kepada yang lebih tua atau yang memiliki kedudukan sosial lebih tinggi. Sebenarnya kalau di perhatikan mengapa tidak boleh, karena ini merupakan aturan sosial untuk menjaga struktur “kelas” tetap terjaga. Karena bila kita memandang seseorang terutama yang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukannya secara sosial langsung ke “mata” maka sebenarnya kita bisa melihat diri mereka yang “sejati” tidak beda dengan kita semua ini…ciptaan Tuhan. Nah, kalau sudah begitu kan sebenarnya sistem sosial yang dibangun di masyarakat sudah tidak ada gunanya….nah seperti itulah. Sama hal nya jika kita melihat seseorang yang kita anggap memiliki kedudukan sosial yang lebih rendah dari kita atau yang lebih muda dari kita, contohnya kepada anak kita, usahakan kita bisa men-sejajarkan mata kita dengan mereka, sehingga mereka tidak menganggap kita lebih superior dari mereka, dengan begitu, kita semua setara, tidak ada Bapak-Anak lagi (Non-dualitas), tidak ada Guru-Murid lagi (Non-dualitas) tidak ada lagi Atasan-Bawahan lagi (Non-dualitas). Semua setara dan sejajar.

Begitu pula kita menilai sebuah masa atau waktu, tidak ada awalan, tidak ada akhiran, semua datang secara bersamaan. Tidak ada peng-kutub-an, tidak ada yang Baik-Buruk, hanya pilihan saja yang kurang tepat. Sama dengan usia, ini adalah konsep siapa lahir lebih dulu saja, tapi pengalamannya sama saja, kalau saya lebih muda berarti saya belum mengalami hal yang dialami oleh yang lebih tua (yang lahir duluan).

Sudah semakin jelas atau semakin kabur? Syukur kalau sudah semakin jelas, kalau semakin kabur, coba untuk berhenti sejenak dan baca sekali lagi tulisan ini dengan makna nya bukan baca tulisannya. Karena kadang kita sudah merasa tahu dan men-skip beberapa detail penting yang terkandung di dalamnya….karena saya juga masih sering seperti itu.

Memantas-kan diri saya dengan memantas-kan orang lain yang sebenarnya diri saya juga yang diproyeksikan oleh semesta untuk hadir karena saya melemparkan data yang sama di alam semesta, dan kesadaran kita juga mempengaruhi kesadaran orang lain di semesta ini…karena kita berbagi data yang sama berbagi jaringan yang sama….

Semakin jelas? Atau blas?

Sama, saya juga…..

Thursday, September 24, 2020

 Goal vs Syukur

 24 September 2020

 

Kalau dipikir-pikir mana yang lebih dulu? Kita bersyukur kalau Goal sudah tercapai atau kita bersyukur agar Goal bisa tercapai?

Dua hal ini bukanlah hal yang saling bertolak belang juga bukan hal yang sama, tapi saling terkait satu sama lain.


Jikalau Goal tercapai apakah kita selalu bersyukur? Apakah kita pelit bersyukur karena menganggap Goal yang tercapai belum 100% dan kita merasa tidak boleh berbangga diri dulu? Bersyukur harus tapi bangga jangan. Karena Goal tercapai bukanlah 100% dari usaha kita (Yakin itu usaha mu sendir?.... Sendirian?). karena selalu ada campur tangan keilahian yang sudah menuliskannya seperti itu. Sama dengan Film yang akan kita tonton, endingnya sudah dibuat hanya saja kita belum sampai ke sana nonton-nya, seperti itulah kehidupan.

Trus aku kudu piye? Yo pasrah wae lah….. Ingat, pasrah bukan berhenti menyerah, pasrah artinya segala usaha terbaik yang kita lakukan kita tidak terikat pada hasilnya nanti, tidak ada ekspektasi nantinya seperti apa, yang penting semua sudah dilakukan seperti yang sudah direncanakan, akan tetapi hasil sudah pasti tidak akan sesuai dengan yang kita rencanakan…. Ini 2 hal yang berbeda, kalau usaha kita sendiri yang mengontrolnya, sedangkan hasilnya nanti sama sekali bukan di dalam kendali kita, ya memang seperti itulah.

Kemudian ketika ada quote yang mengatakan “Banyak-banyaklah bersyukur…” ini tidak salah, ketika “Syukur” murni di ucapkan tanpa “Tail Ender” yang artinya tujuannya untuk murni bersyukur tanpa ada embel-embel lain di belakangnya…murni bersyukur yang artinya tidak punya ekspektasi apapun dari ungkapan rasa syukur tersebut. Bahkan anda bisa membaca tulisan ini seharusnya anda juga bersyukur (Tak perlu diucapkan keras-keras juga, cukup di batin saja).

Bahkan bersyukur itu tidak perlu alasan sama sekali.

Berkah-Nya sungguh luar bisa dan tidak main-main. Bersyukurlah dengan apa yang sudah kita terima hari ini, tanpa mengurangi usaha kita. Berucap-syukurlah tanpa memikirkan hasil dari ucapan syukur kita. Berterima kasihlah tanpa berharap ada yang berterima kasih pada anda. Dan saya tidak akan menjanjikan apa-apa ketika melakukan hal-hal tersebut.

Sudah begitu saja, terima kasih.

Wednesday, September 23, 2020

Waktu

23 September 2020

 

Ketika kita berbicara mengenai waktu itu sebenarnya adalah relatif, setiap orang pada dasarnya memiliki waktunya masing-masing tidak bisa di standard-kan.

Sudah sejak jama Mesir kuno, jam pertama di ciptakan, sebuah pengukuran waktu di sepakati pertama kali oleh bangsa Mesir kuno (1500 sebelum masehi), pada saat itu disebut sebagai Sundials (Jam Matahari), sistemnya sederhana, hanya mengukur pertama kali terbit matahari hingga terbenamnya matahari dibagi menjadi 12 bagian, kemudian itulah yang menjadi satu jam perbagiannya. Tentu itu tidak sama lagi dengan waktu yang jita gunakan sekarang, kerena pada saat itu Sundials hanya bisa digunakan ketika ada matahari saja, dan di daerah tertentu saja, belum juga kalau nanti musim nya berubah, pasti siang bisa lebih panjang atau lebih pendek. Kemudian diciptakan jam dengan akurasi tinggi hingga ke milidetik nya.

Baik, kita sudah membahas latar belakang mengenai penciptaan jam dan pengukuran waktu menurut sejarah manusia. Tapi bagaimanapun juga waktu tidak akan pernah menunjukkan keakuratan yang sesungguhnya, karena pada dasarnya tidak ada yang bisa benar-benar mengukur waktu secara presisi, tapi hingga saat saya tulis ini, manusia tetap tunduk pada waktu, walaupun kita sadari bahwa persepsi kita terhadap waktu selalu coba untuk di samakan oleh satu sama lainnya.



Ketika kita berada di dalam pusaran waktu maka kita akan tunduk pada hukum waktu. Yang artinya kemarin adalah yang sudah dialami, sekarang atau hari ini adalah yang sedang kita alami dan besok adalah hal yang belum kita alami. Ini konsep yang saya coba sederdhanakan agar kita bisa sepaham mengenai konsep waktu.

Sambil kita ber-jeda sembentar mengenai konsep waktu, sebenarnya dari sejak kita belum lahir kita sudah dikenai hukum waktu, kita sudah masuk dalam pusaran dan aliran sungai “waktu”. Di dalam kandungan Ibu kita, kita bahkan tidak diberi kesempatan untuk menentukan “waktu” kita sendiri. Kita sudah dihitung mulai dari terbentuknya janin hingga sampai menjadi bayi sempurna yang siap untuk dilahirkan ke dunia, berapa lama itu? Kurang-lebih 9 bulan 10 hari, kalau kurang dari itu kita didkatakan “Premature” kalau lebih dari itu dikatakan “Bayi Malas”, dan harus dipaksa untuk dilahirkan melalu obat perangsang kelahiran atau dengan operasi Caesar, dengan alasan medis dan lain sebagainya.

Kemudian ketika lahir jadi bayi pun, kita sudah di kenai hukum waktu yang mengatakan “Umur segini harusnya sudah bisa tengkurap”. Simple, tapi kita sudah mengalami dan berada pada aliran waktu. Sampai pada nanti kita belajar berjalan pertama, mengatakan kata-kata yang pertama, semua itu sudah dirumuskan dengan waktu, “Seharusya usia sekian sudah bisa……”, ini sebenarnya menjadi sebuah penderitaan batin bagi yang tidak bisa “Tepat Waktu”, dan pasti akan menjadi beban yang akan dibawa sampai dewasa nantinya.

Jadi semakin kita terserap pada waktu maka kita akan semakin menderita, penderitaan akan bertambah dengan seiring berjalannya waktu, ketika kita mulai membandingkan diri kita dengan orang lain, “Dia umur 25 tahun sudah nikah, saya kok belum ya?” dan lain-lainnya, apalagi jika ditambah dengan lingkungan yang semakin membuat kita terserap ke dalam hukum waktu.

Kemudian bagaimana caranya agar kita tidak semakin terserap kedalam hukum waktu? Jawabannya adalah tidak akan bisa, karena kita terperangkap dalam tubuh manusia yang punya umur pakai dan pasti akan terpengaruh dengan hukum waktu karena kita ada di dalamnya.

Tapi ada caranya agar kita tidak terserap secara terus menerus ke dalam pusaran waktu ini. Dengan cara sediakan “Waktu” bagi “Diri sendiri” untuk diam dan hening sejenak untuk kontemplasi (tidak sama dengan meditasi). Kontemplasikan keberadaan diri anda sekarang tanpa memvisualisasikan apapun itu, rasakan diri anda di dunia ini sebagai apa? Tidak untuk dijawab juga, hanya dikontemplasikan…..siapa kah anda? Mengapa anda berada di sini?

Waktu yang tepat menurut saya untuk melakukan kontemplasi (bagi saya) adalah ketika akan tidur, setelah bangun tidur dan ketika istirahat siang (karena saya orang kantoran).

Artinya ketika kita melatih diri kita untuk sejenak terlepas dari belenggu waktu, maka sedikit demi sedikit kita akan mengurangi penderitaan kita sebagai manusia di dunia ini yang terkena hukum waktu, menjadi lebih ringan dan mampu mengendalikan waktu kita masing-masing.

 

Mari ber-jeda bersama.

Tuesday, September 15, 2020

 Loyalitas; Arti sebuah kesetiaan (Sebuah diskusi di kepala ANDA)

 Mulai ditulis 14 Juli 2020 baru bisa diselesaikan 15 September 2020

 


Suatu saat saya pernah di semat’i sebuah label “kamu orangnya tidak loyal terhadap pekerjaan kamu” oleh salah seorang pemilik sebuah usaha tempat saya bekerja dulu, sekitar 10 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2010.

Sebelum saya belajar ilmu pengetahuan tentang Consciousness, hal semacam ini benar-benar ter-imprint pada pikiran bawah sadar saya. Sambil bergumam kepada diri saya sendiri…”Ooo…saya ini orangnya nggak loyal ya…”. Dengan pernyataan sederhana sebagai sebuah identifikasi diri saya, di pikiran sub-conscious saya sudah menerima bahwa saya orangnya “Nggak Loyal” (bisa diartikan tidak setia dalam hal pekerjaan).

Di awal saya bekerja di pekerjaan saya yang sekarang (di tahun ke-1 dan ke-2) saya masih melamar pekerjaan-pekerjaan lainnya di perusahaan-perusahaan lainnya. Sudah ada beberapa tawaran pekerjaan dengan janji yang “lebih baik” tentunya. Tapi tidak ada satu pun yang berjodoh dengan saya. Tak terasa berjalan 10 tahun saya bekerja di tempat pekerjaan saya ini, saya sudah tidak tertarik untuk pindah pekerjaan di tempat kerja lainnya. Karena menurut saya, “semua pekerjaan di mana saja itu selama anda masih ikut orang”. Artinya selama kita masih bekerja sebagai orang yang digaji, maka semuanya itu sama saja, mau ikut perusahaan kecil maupun sebuah korporasi raksasa, sensasi rasanya itu sama semua, hanya beda di taraf kehidupannya saja, nah sampai mana kita mau mengejar taraf kehidupan ini, apabila makna dan raasanya sama?

Pasti ada suatu kesempatan di dalam kehidupan kita ini yang pernah kita alami, sebuah pengalaman yang membangkitkan semangat hidup kita, sebuah kejadian yang inspirasional bagi kita shingga kita memutuskan, “Saya ingin….”, “Saya mau….”, “Saya….”. Tinggal dilihat saja seberapa kuatnya keinginan, kemauan dan harapan ini. Seberapa besar kita bisa memperjuangkannya dan mewujudkannya.

Bagaimana saya bisa memenangkan keinginan dan harapan ini?

Sadari dahulu ketika kita mengikrar-kan sesuatu seperti itu “saya ingin…” selealu ada jiwa kita lainnya yang meng-counter hal tersebut. Seperti ada yang berkata “Yakin? Paling juga besok sudah malas”. Atau mungkin di kepala kita juga ada yang bilang “Lho jangan, nanti kamu mau bayar cicilan pakai apa kalau kamu nggak dapat gaji?”. Atau ada yang seperti ini “Baiklah, silahkan ikuti hasrat liar mu, saya yakin kamu akan kembali lagi jadi seperti sekarang ini”.

Caranya adalah….

Jika anda mengharapkan ini adalah sebuah metode atau teknik tertentu, maka silahkan pindah ke baca yang lain saja, karena saya tidak akan bahas hal tersebut.

Cara memenangkannya adalah berlatih untuk melakukan manajemen pikiran anda sendiri, caranya terserah anda batasan terserah anda. Cukup sadari saja, ini sekarang yang bicara siapa, yang sedang mikir ini siapa, bahkan yang sedang baca tulisan ini siapa? Apakah otak limbic (Emosi, survival) saya? Otak Parietal (Perhitungan, memory) saya? Ataukah Otak Frontal (Logika, norma) saya yang sedang aktif sekarang?

Coba di sadari dulu diri sendiri, meanangkan dulu peperangan dengan diri sendiri, tenangkan dulu debat kusir yang ada dikepala anda…

 

Nah, kalau sudah mari diskusi di kolom komentar di bawah ini…..

Monday, April 6, 2020

Under Pressure



02 April 2020

Tidak ada hal yang bagus dan indah yang bisa keluar dari kondisi “Under Pressure” atau di bawah tekanan.

Hal ini mengingatkan saya pada saat duduk di kelas 4 SD, waktu itu mata pelajaran “Keterampilan”, karena hari itu hari Sabtu dimana waktu itu  anak-anak SD masih masuk sampai hari Sabtu, maka kami semua sudah tidak fokus lagi pada mengerjakan tugas keterampilan yang diberikan oleh guru tetapi fokus kepada “Nanti pulang sekolah mau main di mana”.  Dengan kondisi kelas besar isi 50 anak (ini hal yang lumrah pada jaman saya SD), dan semua anak berpikir akan hal yang sama, maka gaduh-lah kelas kami hingga akhirnya sampai bel pelajaran berakhir tidak ada satu anak pun yang menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Guru Keterampilan. Kami berharap nanti tugas dibawa pulang dan kami bisa mengerjakannya di rumah.

Tetapi Guru Keterampilan kami berkata lain, “Semuanya harus mengerjakan tugas keterampilan sampai selesai sesuai dengan contoh yang sudah diberikan, apabila belum selesai tidak boleh pulang”. Terkejut dan kecewalah kami yang ada dalam kelas itu. Harapan-harapan dan rencana-rencana kami berantakan karena ternyata kami tidak boleh pulang jika tugas keterampilan belum selesai dikerjakan dan dikumpulkan ke depan kelas.

Dengan inisiatif anak kelas 4 SD sejadi-jadinya kami kerjakan Tugas Keterampilan di bawah tekanan dan di bawah ancaman Guru keterampilan kami, kami kerjakan dengan berat hati dan terpaksa kami kerjakan, kami berada pada “Survival Mode” kami, “ngerjakan atau nggak boleh pulang”.

Sekitar 20-30 menit, akhirnya ada beberapa anak mulai mengumpulkan tugasnya di depan, berhubung saya duduk di depan sendiri, saya bisa melihat hasil tugas yang mereka kerjakan, semuanya dikerjakan “ala kadarnya”, “Sing penting mari” ucap teman sebangku saya. Akhirnya itu juga yang saya lakukan “Sing penting mari”. Akhirnya apa? Semua tugas yang diberikan hasilnya luar-biasa berantakan, karena kami semua mengerjakannya “Di bawah tekanan”, kami semua merasa “terancam”, “Survival Mode” kami yang bekerja, bukan hati kami yang bekerja, karena hati dan rasa tidak bisa “diancam: tidak bisa “dipaksakan”, seperti halnya mengatakan “HARUS PAKAI HATI”, kemudian “hati” dan “rasa” muncul.

 

Pilihan.
Jadi apa yang diharapkan dari “output” ini adalah apa yang dilakukan. Kalau dilakukan dengan terpaksa dan di bawah tekanan maka tidak ada yang bagus yang bisa keluar, hanya sebuah karya “yang terpaksa”. Jika itu keluar dari “hati” dan “rasa” maka hasilnya adalah sebuah “Masterpiece”.
Seperti seorang seniman, pasti mereka menunggu “wangsit” sebelum bisa menelurkan karya seni mereka. Coba kita paksa seniman untuk membuat karya seni dengan “deadline” yang sudah kita tentukan, pasti hasilnya bukan “Masterpiece”, pasti hasilnya biasa-biasa aja.

Kemudian bagaimana jika disebuah lowongan kerja dituliskan “mampu bekerja di bawah tekanan”. Ya sebenarnya ini bahasa halus dari HRD bahwa anda harus tahan walaupun di beri “tekanan” dan tidak memutuskan untuk keluar kerja apabila “tekanan” ini berat sekali. Kemudian apakah anda mau? Ya itu pilihan, kembali kepada anda lagi sedang dalam “Survival Mode” atau…..

Jadi anda mau hasilnya seperti apa. Hasil “Dipaksa” atau “Dari Hati”.


Friday, March 27, 2020

Kreativitas (Creativity)

27 Maret 2020

Kreatif adalah kata kerjanya, kata bendanya adalah Kreativitas. Ini muncul ketika pikiran dibebaskan oleh aturan.

Kalau menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah:
  1. Kemapuan untuk mencipta ; daya cipta.
  2. Perihal berkreasi; kekreatifan.


Contoh sederhana, ambil salah satu seniman lukisan yang handal, masukkan dia ke dalam sekolah militer, gembleng dia dengan aturan, bangun pagi jam 5, lari pagi sampai jam 7, mandi pagi, makan, siang baris berbaris, dan harus tidur jam 8 malam, mengulang terus sampai kira-kira 1 bulan saja, menurut anda, apakah dia masih bisa melukis seperti sebelum dia masuk sekolah militer?

Oleh karena setiap kreativitas yang diciptakan seseorang ada kaitannya dengan “kebebasan” yang di”rasa”kan nya. Untuk itu Kreativitas terkait erat dengan seni, seni itu sendiri terkait dengan budaya (Culture) dan budaya terkait dengan spiritualitasnya. Orang-orang yang spiritualitasnya rendah, maka kreativitasnya juga rendah. Jadi bisa dikatakan orang yang memiliki sipitualitas tinggi adalah orang-orang yang kreatif atau memiliki kreativitas tinggi.


What is Creativity
Arti Creativity menurut psychologytoday.com “An act of creativity can be grand and inspiring, such as creating a beautiful painting or designing an innovative new product. But an idea need not be artistic or world-changing to count as creative. Life requires daily acts of ingenuity and novel workarounds; in this sense, almost everyone possesses some amount of creativity.” Kalau bisa saya terjemahkan secara bebas adalah “Sebuah tindakan kreativitas dapat merupakan sebuah ide yang sangat besar dan menginspirasi, seperti menciptakan lukisan yang indah atau merancang produk baru yang inovatif. Tetapi sebuah ide tidak harus artistik atau mengubah dunia untuk dihitung sebagai kreatif. Hidup membutuhkan tindakan cerdik sehari-hari dan solusi baru; dalam pengertian ini, hampir semua orang memiliki beberapa kreativitas di dalam diri mereka masing-masing.” Yang artinya adalah ide original yang sebelumnya tidak terpikirkan dan bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari kita. Ide-ide ini akan muncul apabila pikiran kita dibebaskan pada aturan dan tekanan sekitar yang membelenggu kebebasan berpikir kita, se-simple itu. Dan ini semua sudah ada di dalam diri kita semua, itu semua adalah defafult kita dari lahir. Jadi mulai sekarang jangan mau menerima pendapat orang lain bahwa anda tidak “kreatif”, padahal itu adalah default anda. Katakan saja “Saya kreatif dari lahir, hanya ide saya belum muncul jika anda selalu menekan saya”. Dan jangan lupa katakan “terima kasih”.

Bedakan Kreatif dengan Pandai Mencari Peluang (Pasar/Jualan)
Kebiasaan orang indonesia untuk “menyamakan” atau mencacri sinonimnya juga mempenagruhi arti kata “Kreatif / Kreativitas: itu sendiri. Contohnya, di masa seperti ini bingung cari pembersih tangan, maka dibuatlah video tutorial cara membuat pembersih tangan alternatif ini, nah ini orang yang kreatif meiliki kreativitas. Sedangkan contoh yang Pandai Mencari Peluang (Pasar/Jualan) yaitu, sudah lihat video tutorial itu, mereka langsung membuat dalam sekala besar dan dijual di pasaran, melalui market place daring dan di quotenya ditulis WFH (Work From Home). Tapi ide ini sudah tidak otentik, mereka menggunakan ide orang lain  untuk dijual atau dipasarkan, nah ini bukan kreatif atau memiliki kreativitas ini disebut “Pandai Mencari Peluang (Pasar/Jualan)”.


Jadi kita sudah tahu mana yang sebenarnya kita butuhkan. Orang yang Kreatif atau Orang yang Pandai Mencari Peluang (Pasar/Jualan).

Thursday, March 19, 2020

Aggression


19 Maret 2020

Aggression sebuah proses psikologis yang dilakukan oleh Human Being yang berada di Level of Consciousness (LoC) 150 yaitu Anger. Sempat saya tulis di sini:


Dan di sini juga:


Human Being yang berada di Level ini biasanya menekan Human Being lainnya yang berada di level 100 (Fear) ke bawah, Human Being ini biasanya adalah orang-orang dengan kekuasaan atau “diberikan kekuasaan” untuk memerintah, menyuruh, menundukkan, secara hierarki sosial lebih tinggi dari yang “ditekan”.

Padangan terhadap kepercayaan yang dipegangnya adalah “Eye for an eye” atau “mata dibalas mata”. Semuanya harus terbalaskan (pendendam/selalu ingat akan kesalahan orang lain). Pandangan hidupnya adalah “Dirinya adalah ‘musuh’ dari orang kebanyakan”, punya kecenderungan untuk mengatakan “Tidak apa-apa saya dibenci semua orang yang penting hukum ditegakkan”.

Emosi yang sering ditampilkan adalah kebencian, melihat segala sesuatunya dari “sisi buruknya”, memandang sesama Human Being dari sisi kekurangannya, tidak melihat Human Being lainnya sebagai pribadi yang baik.


Aggressive
Aggressive (behaving in an angry and violent way towards another person), sangat cepat dalam melakukan tindakan “penyerangan” baik verbal maupun fisik. Dari kondisi normal hingga penyerangan bisa terjadi dalam “seper-sekian-detik”.

Sebuah Pengalaman Pribadi
Kenapa saya bisa cerita seperti ini, karena saya pernah berada di kondisi ini. Kondisi “Always ready to fight”, tanpa pikir panjang, tanpa takut karena selalu berada “on the edge”, kalau bahasa Surabayanya “Senggol Bacok”. Puji Tuhan saya diberikan pendamping yang mau dan sabar dengan saya dan membawa saya ke dalam sebuah kesadaran yang lebih tinggi lagi.

Sampai kepada sebuah “Keberanian”. Keberanian untuk mengaku salah, keberanian untuk mengakui bahwa saya rentan dan lemah. Keberanian untuk mendekati orang-orang yang saya benci. “Saya tidak benci mereka, saya hanya benci keputusan yang mereka ambil”.

Sampai pada “Saya tidak pernah benci mereka sebagai Human Being apalagi sebagai Spiritual Being”. Pernah di sini? “Pernah”, mempertahankan untuk terus di sini perlu usaha dan penyangkalan diri yang lumayan.

Anda?
Iya anda, mengalami kondisi seperti ini? Punya keinginan untuk “menyerang” seseorang? Punya kebencian pada orang-orang spesifik bagi anda?

Coba mundur sejenak, kalau pernah, coba dikejar, mengapa anda benci? Mengapa anda ingin “menyerang”? Apakah anda menyerang pribadinya (Human being-nya) atau hanya menyerang keputusan yang mereka perbuat? Ataukah anda menyerang karena alasan “tidak suka aja”? Apakah anda “tidak suka aja” mengingatkan pada suatu peristiwa? Coba terus dikejar sambil terus diamati. Kalahkan keinginan “basic” anda “Evolusi-kan” kesadaran anda.

Jadi, mengapa anda masih suka menyerang orang lain?

Wednesday, March 18, 2020

Apathy

18 Maret 2020

Iya, menurut saya itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kita sekarang ini, jika dilihat dari bagaimana kita bersikap menghadapi masalah yang sedang hangat-hangatnya yaitu COVID-19 (Corona Virus). Saya tidak akan membahas pencegahannya dan tidak akan membahas penanggulangannya, saya akan bahas sikap kita terhadap sesama manusia terkait dengan Virus COVID-19 ini yang tidak hanya menyerang tubuh manusia akan tetapi juga menyerang jiwa dan Ego kita sebagai Human Being.
Saya berusaha menahan diri saya dan berusaha men-jeda agar tidak terserap dan membuat tulisab seperti ini, karena nantinya bakalan membawa emosi dan ego saya kedalam perbincangan yang populer, tapi apa daya, kejadiannya sudah di depan mata saya sendiri sehingga saya harus bisa menuliskannya di sini.

E.G.P.
“Emang Gue Pikirin?” inilah yang sedang terjadi sekarang ini di skala terkecil sosial kita, di rumah, di lingkungan rumah, di sekolah, di tempat kerja dan di tempat ibadah. Secara serentak berita dan media informasi membahas masalah COVID-19 sebagai Virus, dan membahas dampak sosialnya yang diakibatkan oleh virus itu. Mulai dari Lock-down, Curfew (Jam Malam), Social DistancingSelf Sanitizing, dan macam-macam istilah lainnya. Keadaan ini membawa kondisi pikiran kita kepada Survival Mode dan by default juga maka mulailah kita melakukan segala cara untuk survived mulai dari cara-cara kepada diri sendiri yang sifatnya defensive hingga kepada orang lain yang sifatnya offensive. EGP-nya seperti apa? Seperti belanja bahan-bahan kebutuhan hidup sebanyak-banyaknya (Stockpiling), memborong masker, memborong sanitizer, hingga meneruskan berita-berita terkait wabah virus, sampai-sampai berebut dengan orang lain hanya karena masalah beli barang dan sanitizer. Hingga ke masalah rasis Xenophobia (the fear or hatred of that which is perceived to be foreign or strange) dalam hal ini ras tertentu yang diyakini adalah origin dari Virus ini, hal ini nyata dan terjadi di luar negara-negara Asia.
Kembali lagi kepada EGP, yang berakhir menjadi Apathy, semua orang memikirkan dirinya sendiri, semua orang memikirkan keselamatan dirinya sendiri, nilai kemanusiaan menjadi pertimbangan yang ke-sekian. Despair (the complete loss or absence of hope) adalah emosi yang ditunjukkan oleh human being yang mengalami Apathy ini, pandangannya adalah Condemning (condemn: to criticize something or someone strongly) atau mengutuk kejadian ini, menyalahkan otoritas di atasnya, kepada dirinya sendiri terhadap pandangan hidupnya adalah Hopeless (having no expectation of good or success) tidak punya harapan lagi tidak punya ekspektasi sama sekali. Dan Proses Psikologis yang dialami adalah Abdication (failure to fulfill a responsibility or duty) atau gagal menunaikan kewajibannya, sebagai apapun itu.

Kelompok Sosial Terkecil
Kejadian yang saya alami sendiri di pagi ini di sebuah pertemuan pagi yang biasa kami para pekerja kantoran lakukan sebelum melakukan pekerjaan kami. Pembahasan mengenai isu-isu perusahaan yang sedang berkembang, kemudian isu nasional dan sosial. Mengerucut kepada pemasalah Virus COVID-19, kantor kami memiliki kebijaksanaan untuk mengadakan fasilitas Hand Sanitizer di setiap titik masuk keluar dan fasilitas yang seing dilakukan kontak fisik seperti Finger Print Scanner. Masalah yang utama bukan kepada pengadaan HS tersebut tetapi lebih kepada masalah sosial dari pengadaan HS tersebut, orang-orang yang berkepentingan dan secara struktur terlibat, berusaha mengalihkan tanggung jawabnya (Abdication) kepada orang lain yang sebenarnya tidak memiliki wewenang di sana, dan mereka yang mengetahui bagaimana kejadiannya hanya diam (Despair) terhadap situasi itu. Yang lainnya yang tidak tahu sama sekali tentang masalahnya hanya diam tanpa ingin tahu sama sekali (hopeless) pasrah kepada keputusan dan mencoba tindan mengambil tanggung jawab.


Pagi itu, di pertemuan itu, di ruangan itu, kami semua yang ada di situ sedang “mengalami” Apathy (LoC 50), kami semua menderita di level itu, sampai ada salah satu dari kami berani ambil tindakan dan berani angkat bicara mengenai kejadian yang sebenarnya dan meluruskan semua permasalahan itu (menaikkan level kesadaran kolektif dari kelompok pertemuan itu). Ya, se-simple itu kita bisa menaikkannya mengentas kesadaran kolektif itu keluar dari penderitaan Apathy.
Pertemuan diakhiri dengan titik terang terhadap masalah ini, semuanya bisa tenang kembali melakukan pekerjaan kami masing-masing. Dan semoga pertemuan-pertemuan berikutnya kami semua bisa menemukan titik terang terhadap semua isu-isu yang kammi hadapi, asalkan semua orang berani (Courage) mengatakan yang sejujurnya dengan data yang akurat dan mampu dipertanggung-jawabkan.

Apakah anda juga pernah mengalami yang saya alami juga? Share di kolom Comment, terima kasih….

Monday, March 16, 2020

SATU MILIAR PERTAMA SAYA


16 Maret 2020

Inilah tugas ilahi bagi saya, membuat kehidupan saya lebih indah dengan uang satu miliar pertama saya.

Anda pasti bertanya mengapa satu miliar? Mengapa bisa membuat kehidupan lebih indah? Iya, inilah oleh-oleh saya dari Semarang, setelah mengikuti Mentoring TLoC. Satu miliar mungkin hanyalah sebuah angka, tapi bagi saya adalah sebuah empowerment, memberikan sebuah bentuk dari tujuan hidup saya. Karena selama ini hidup saya hanyalah untuk bertahan hidup saja, iya hanya untuk “survived” saja. Dan dengan memberikan bentuk pada tujuan hidup saya, maka saya memuliakan karunia Tuhan ini yaitu kehidupan itu sendiri.

Sing Penting Isok Mangan….
Saya kira ini adalah pandangan yang benar bagaimana saya mendang hidup saya, ternyata selama ini saya salah, karena hidup tidak hanya asal makan saja, atau asal bisa tidur saja, tapi harus lebih dari itu, karena kehidupan ini adalah anugrah dari Tuhan, oleh karena itu kita harus berusaha dengan seluruh kemampuan kita untuk membuatnya menjadi lebih indah dengan memiliki tujuan, dengan selalu ingin mengembangkan diri untuk selalu menjadi lebih baik dalam hal apapun itu.

Saya diberi tugas oleh Mentor saya untuk memiliki tujuan hidup yang besar, yang luar biasa. Mendengarkan kata “1 miliar” saja, haati ini sudah berdesir, membayangkan sebuah pencapaian (bagi saya) yang luar biasa. Inilah yang saya butuhkan “Sebuah Tujuan”, simple tapi selama ini saya belum memiliki bentuknya.

Bagaimana Caranya?
Ini yang pertama saya tanyakan pada Mentir saya yang memberikan Tugas ini pada saya. Jawabannya “Ada 2 cara, antara memang keturunan terkenal/kaya/mempunyai modal atau menjadi Seniman/Artis” Artis yang dimaksud bukanlah selebriti melainkan “Artist” alias seniman. Saya jelaskan bagaimana saya belajar bersama istri saya, ilmu dan pengetahuan baru untuk menambah wawasan dan tentunya menambah penghasilan.


Salah satunya kami belajar bersama beberapa ilmu penyembuhan dan ilmu terapi untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan kita. Mentor saya juga menceritakan kepada saya kalau sebelum beliau mendirikan Kelompok belajar ini, beliau juga berkecimpung di dunia terapi, bahkan sempat mempunyai ruangan terapi di sebuah rumah sakit. Oleh karena itu, dengan modal yang sudah kami miliki, maka kami bertekat untuk meneruskan usaha kami untuk menjadi Therapist dan Counselor.

Marketing
Di dalam dunia bisnis, kata ini adalah kata yang paling penting untuk dipahami, karena tanpa ini maka percumalah barang yang kualitasnya bagus, percumalah pelayanan kelas satu apabila tanpa ini.
Kalau ditinjau katanya, sebenarnya ada yang terkait dengan Marketing, yaitu Sales, keduanya saling berkaitan, Sales menjuat barang atau jasa yang sudah ada, sedangkan Marketing itu membentuk barang atau jasa yang akan dijual berdasarkan pasar yang dituju.

Terkait dengan Terapi dan Counseling maka marketing yang paling cocok dalam menjualnya adalah dari mulut ke mulut, karena kalau Terapi atau Healing atau Counseling sejatinya tidak pernah di iklan kan. Saya belum pernah melihat ada iklan tetntang dokter yang ada di majalah atau korang bahkan di antara video YouTube. Karena memang tidak ada, karena semuanya berdasarkan berita dari mulut ke mulut.

Ketika Terapi atau Counseling yang anda lakukan itu berhasil, maka secara otomatis klien yang puas akan memberitakan ke kerabat atau teman-teman terdekatnya. Yang mendengarkan pengakuan dari sahabat atau saudara yang sudah menerima manfaatnya, secara tidak langsung menerima itu sebagai sebuah informasi yang sudah terbukti benar.

Bentuklah Tujuan Anda
Karena anda dan saya masih hidup di dalam dimensi ketiga, maka kita harus memberikan batasan di dalam ruang waktu inin kepada harapan dan tujuan anda, bentuklah tujuan yang jelas, yang bisa dicapai denga kemampuan yang dimiliki, karena kalau kita menetapkan tujuan tetapi tidak tahu cara untuk mencapainnya, maka itu semua hanyalah sebuah angan-angan belaka tanpa bentuk dan capaian yang jelas.

Bagaimana dengan anda? Iya anda yang baca tulisan ini, Apakah tujuan hidup anda?

Tuesday, March 10, 2020

Pengalaman Men-Transendensi-kan Level Kesadaran

10 Maret 2020

Ya begitulah kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, tidak ada yang salah, hanya saja artinya tidak seperti yang dimaksudkan. Kami (Saya dan Istri) mengikuti sebuah Mentoring “Trancending Level of Consciousness” oleh Bang Aswar dari Pure Conscioudness Indonesia. Yang dilaksanankan di Semarang selama 2 hari (7-8 Maret 2020).

Kami belajar bersama dengan peserta yang lainnya yang mengikuti Mentoring ini. Pasti anda bertanya “Apasih itu Mentoring TLoC?”. Kalau ditanya saya hanya bisa menjelaskan dari pemahaman saya yang sifatnya opni, karena setiap peserta yang hadir merasakan pengalaman yang berbeda-beda.

Mentoring TLoC bagi saya adalah bagaimana kita memandang segala sesuatunya bukan lagi dari yang mengalami tetapi sebagai yang mengamati (Observer) sehingga tidak lagi terjebak dan terserap dalam ruang-waktu. Kita bisa memandang tanpa membebani sebuah masalah dengan nilai-nilai yang kita sematkan pada sebuah masalah. Kita memandangnya murni, semua kejadian adalah positif. Mampu meberikan kemaknaan bagi pengalaman kehidupan kita sebagai manusia maupun sebagai spiritual being.

Memandang kehidupan sebagai sesuatu yang kualitatif bukan lagi yang kuantitatif, nilai-nilai ditetapkan berdasarkan kualitasnya, bukan lagi kepada kuantintasnya.

Tidak peduli berapa lama anda sudah hidup dan mengalami kehidupan, siapapun masih bisa melakukan perubahan ini.

Kehidupan Orang lain juga mewakili kehidupan kita (Anda dan saya)
Ini saya rasakan ketika saya menyaksikan seorang peserta yang maju dan sedang mengalami “Mentoring” untuk mentransendensikan Level Kesadarannya. Berbagai pengalaman di LoC 20-175, di sampaikan dengan detail oleh salah seorang peserta TLoC ini, yang dilakukan Bang Aswar hanya mencatat di flip chart dan menanyakan event-event yang dialami beserta emosi yang terkandung di dalamnya. Sebelum kelas Mentoring ini, sebelumnya saya sudah pernah mengikuti workshopnya PCI yang dilakukan di surabaya, kurang lebih saya punya gambaran bagaimana itu mentoring TLoC, sehingga konsepnya saya sudah pernah tahu.

Tapi kali ini di dalam Mentoring TLoC ini, lebih dalam lagi, sebuah deep interview di dalam level Experiencer yang sedang di mentoring tersebut. Kadang event-event yang di ceritakan juga terjadi di kehidupan peserta-peserta yang lainnya, maka kita merasakannya juga, baik emosinya maupun experience nya, ikut empati di dalam mentoring tersebut. Kepedihan, kesedihan, kemarahan kebencian dan segala macam emosi yang terkuak di dalamnya ikut merasakan keadaan tersebut, bagi mereka yang emosi dan experience nya terwakili.



Tidak Mau Rugi
Ini positif lho, karena anda harus mendapatkan apa yang sudah anda keluarkan. Artinya saya tidak mau melewatkan kesempatan untuk di Transendensikan Level Kesadaran saya.

Kalau sebelum saya maju, ada peserta yang memiliki event yang berupa relasi dengan keluarga, dan kalau saya diberi kesempatan untuk mengungkapkan event-event yang terkait uang. Sangatlah tepat dan sudah benar adanya. Memang bukanlah sebuah kebetulan lagi. Jadi saya ceritakan di sesi mentoring itu, bagaiman pengalaman saya terkait demgan uang dan bagaimana kehidupan saya dari kecil terkait dengan “Uang” dan perangkat yang bersamaan dengan “uang”.

Disitulah mulai terungkap satu-persatu bahwa uang yang saya kenal merupakan sebuah persepsi yang tidak tepat di dalam life view saya, bahwa “kehilangan uang itu wajar”, “uang itu untuk dihabiskan”. Dan yang paling menohok adalah hidup itu bukan sekedar suvive, kita harus bisa berkarya di dalam kehidupan ini, bukan saja sekedar “hidup” tetapi memberikan kebermaknaan di dalamnya.

Ada beberapa event yang mampu menemukan jiwa yang terluka yang sebelumnya belum bisa saya temukan selama ini. Ada jiwa saya yang masih hidup di event itu, dia menuntut saya untuk diperhatikan, dengan cara mensabotase kehidupan saya tanpa saya sadari sehingga membentuk fenomena bola salju yang semakin lama akan semakin membesar dan semuanya saling berkaitan terhadap bagaimana saya memandang kehidupan ini, sehingga saya mengalami pengulangan-pengulangan, kesalahan demi kesalahan yang saya alami saling terkait satu sama lainnya.

Dengan ditemukannya jiwa yang ini, maka saya bisa bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, sedikit-demi sedikit hambatan kehidupan saya yang masih menahan saya untuk maju akan semakin terurai benang kusutnya, semuanya yang gelap dan tak nampak bisa semakin jelas, karena cahaya yang datang mampu meniadakan kegelapan yang saya alami di masa-masa yang sudah saya lewati. Memahami keadaan lebih baik, memandang hal-hal yang negatif menjadi sesuatu yang positif (bukan reasoning, melainkan understanding), menerima “mereka” apa adanya, membuka tangan dengan penuh cinta, memeluk jiwa-jiwa saya yang terluka, menerima dan mengakui jiwa-jiwa jiwa saya yang tersakiti, karena “Dia yang tersakiti telah kembali….”

Hidup Bukan Hanya Sekedar “Survive”
Iya ini yang saya terima pesan ilahinya. Saya bekerja bukan hanya untuk menerima gaji saja, tapi pengalamannya juga, ilmunya juga dan relasinya juga. Untuk itu saya tidak ingin membatasi diri saya dengan apa yang sudah saya terima saja, tapi saya mencari apa yang belum bisa saya wujudkan, “menyatakan” sebuah mimpi, bukan hanya sebuah angan-angan belaka, bukan lagi sebuah afirmasi belaka. Lebih tinggi dari itu mewujudkan harapan kita, itulah misi ilahi kita sebagai Spiritual Being, mampu mewujudkan tugas spiritual kita dengan menggunakan pemberian Tuhan yang paling dahsyat yaitu pikiran kita, kreativitas kita.

Hiduplah dengan hebat, bertumbuhlah dari dalam diri, karena sukses bukan hanya sekedar kemauan melainkan perwujudan itu sendiri…..

Bagaimana dengan anda? Saya yakin hidup anda akan lebih hebat dari sekarang, wujudkanlah……

Waraz.

𝗜𝗡𝗚𝗜𝗡 𝗧𝗔𝗛𝗨 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗜𝗡𝗚?𝗠𝗔𝗨 𝗕𝗘𝗟𝗔𝗝𝗔𝗥 𝗝𝗔𝗗𝗜 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗘𝗥? 👇👇👇 Baca...