04 Maret
2020
Ada apa dengan marah? Mengapa harus marah?
Kita di sini semua bisa bilang “Saya marah”, tapi tidak
banyak yang bisa menyebutkan alasannya mengapa mereka marah.
Mungkin anda yang sedang membaca tulisan ini ada yang sedang
marah atau habis marah, atau bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya marah.
Apakah
Marah Perlu?
Tentu saja perlu, karena merupakan salah satu ungkapan emosi,
sama halnya dengan menangis atau tertawa, semuanya perlu, untuk mengekspresikan
emosi yang sedang dirasakan sekarang ini, sebaiknya tidak ditahan atau represif
terhadap emosi-emosi tersebut.
Marah boleh tapi bukan Amarah, sama halnya dengan sedih,
boleh aja asalkan jangan jadikan kesedihan. Kemudian apa yang akan di ikuti
oleh emosi marah ini? Ada penyesalan (Kalau sadar dan mau mengakuinya) kemudian
disusul oleh sedih. Karena jika seseorang marah kemudian kita biarkan saja dan
tidak ada yang menggubris, nanti kan lama-lama akan sedih karena ternyata dia
marah untuk mencari perhatian atau agar diperhatikan dengan harapan ada yang
memperhatikan, kalau kemudian harapan dari marah untuk memperoleh perhatian
tidak ada yang memperhatikan akhirnya akan berubah menjadi penyesalan dan
kesedihan.
Layaknya seorang anak kecil yang ingin marah tetapi tidak
berani karena kalau marah sama orang tuanya nanti bisa “kualat” maka
ungkapannya adalah “mengompol” ini
adalah salah satu upaya dari PBS (Pikiran Bawah Sadar) untuk memberontak
terhadap aturan yang ada, dalam hal ini adalah aturan yang dibuat oleh orang
tuanya.
Tapi kalau yang marah adalah orang-orang yang memiliki
kekuasaan atau berkuasa atas sesuatu? Ya marahlah dia sejadi-jadinya,
seakan-akan tidak ada norma yang membatasi kemarahannya, bahkan kalau tidak
digubris bisa jadi bukan menjadi penyesalan dan sedih melainkan menjadi amarah
yang menjadi-jadi. Karena memandang object yang sedang dimarahinya ini lebih
rendah darinya, sehingga yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk meluapkan
segala kemarahan dan emosinya. Karena apa? Ya karena bisa dan memiliki
kekuasaan dan hak atas itu.
Marah
bisa Dihindarkan?
Bisa saja, asalkan bukan di tahan, karena jika sebuah emosi
di timbun, terutama marah, pasti akan meledak di suatu poin dimana yang empunya
sudah tidak mampu membendungnya lagi. Bisa jadi orang ini marah-marah dan
memaki-maki pengguna jalan lain bukan karena pengguna jalan lainnya tidak
tertib atau melakukan kesalahan tehadap dirinya, bisa jadi orang ini sebelum
berangkat dia sudah dimarahi oleh atasannya ketika di kantor, kemudian sebelum
menunju parkiran untuk naik ke kendaraannya, orang ini ditelpon oleh istrinya
yang menanyakan kenapa kok nggak pulang-pulang? Kenapa kok jam 6 sore masih di
kantor, ngapain saja? Dan kalau sudah menjelaskan alasannya masih juga
dimarahi. Akhirnya karena tidak berani marah dengan atasan dan tidak berani
marah dengan istri maka ketika di perjalanan menuju pulang ke rumah, orang ini
terpicu oleh tindakan orang yang secara tidak sengaja memotong jalannya dan
meledaklah marahnya, dan di maki-makilah pengguna jalan lain, dengan harapan
yang di maki-maki tidak kenal dan kala ternyata yang di maki-maki membalas,
biasanya memiliki kecenderungan untuk kabur.
Jadi bisa di cegah dengan merasakan marah atau gejolak emosi,
cukup di akui saja bahwa dirinya sedang marah “Lho saya ini sedang marah…” akui
bahwa diri saya marah karena….. di isi dengan alasan anda marah. Kemudian
ungkapkan kepada orang yang membuat anda marah dengan cukup dengan gesture atau
ungkapan yang memberikan perhatian kepada yang membuat anda marah. Kalau yang
anda ajak bicara bisa menerima pendapat anda, katakan anda marah padanya, apa
bila itu pimpinan atau atasan anda cukup ungkapkan dengan sedikit menaikkan
volume bicara anda dengan beberapa penegasan kalinat yang menjadi perhatian.
Ingat lakukan ini apabila anda memang benar dan anda yakin yang anda akan
lakukan benar menurut anda.
Bagaimana caranya agar saya tidak mudah MARAH?
Mudah sekali, terima apa adanya keadaan ini. Ingat menerima
keadaan bukan berati membiarkan hal salah terjadi dan yang benar di salahkan.
Ungkapkan kebenaran, apabila masih disalahkan juga, cukup akui saja bahwa orang
yang anda hadapi memang “aslinya” seperti itu, tidak bisa anda rubah untuk
memiliki pemahaman yang sama dengan anda.
Sangat manjur apabila diucapkan dalam hati “Ya memang
begitulah anda” yang artinya kita membebaskan diri dari belenggu keterserapan
kita terhadap ruang dan waktu yang dia ciptakan. Posisikan diri anda sebagai
pengamat bukan sebagai yang mengalami (ini masih PR buat saya, karena sampai
tulisan ini dibuat saya masih sering menjadi yang mengalami bukan yang
mengamati).
Yang saya tuliskan di atas bukanlah memaklumi, tetapi menyadari.
Apakah anda sadar kalau anda sedang marah? Apakah anda akan membalas marah dengan marah?
No comments:
Post a Comment