Friday, March 27, 2020

Kreativitas (Creativity)

27 Maret 2020

Kreatif adalah kata kerjanya, kata bendanya adalah Kreativitas. Ini muncul ketika pikiran dibebaskan oleh aturan.

Kalau menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah:
  1. Kemapuan untuk mencipta ; daya cipta.
  2. Perihal berkreasi; kekreatifan.


Contoh sederhana, ambil salah satu seniman lukisan yang handal, masukkan dia ke dalam sekolah militer, gembleng dia dengan aturan, bangun pagi jam 5, lari pagi sampai jam 7, mandi pagi, makan, siang baris berbaris, dan harus tidur jam 8 malam, mengulang terus sampai kira-kira 1 bulan saja, menurut anda, apakah dia masih bisa melukis seperti sebelum dia masuk sekolah militer?

Oleh karena setiap kreativitas yang diciptakan seseorang ada kaitannya dengan “kebebasan” yang di”rasa”kan nya. Untuk itu Kreativitas terkait erat dengan seni, seni itu sendiri terkait dengan budaya (Culture) dan budaya terkait dengan spiritualitasnya. Orang-orang yang spiritualitasnya rendah, maka kreativitasnya juga rendah. Jadi bisa dikatakan orang yang memiliki sipitualitas tinggi adalah orang-orang yang kreatif atau memiliki kreativitas tinggi.


What is Creativity
Arti Creativity menurut psychologytoday.com “An act of creativity can be grand and inspiring, such as creating a beautiful painting or designing an innovative new product. But an idea need not be artistic or world-changing to count as creative. Life requires daily acts of ingenuity and novel workarounds; in this sense, almost everyone possesses some amount of creativity.” Kalau bisa saya terjemahkan secara bebas adalah “Sebuah tindakan kreativitas dapat merupakan sebuah ide yang sangat besar dan menginspirasi, seperti menciptakan lukisan yang indah atau merancang produk baru yang inovatif. Tetapi sebuah ide tidak harus artistik atau mengubah dunia untuk dihitung sebagai kreatif. Hidup membutuhkan tindakan cerdik sehari-hari dan solusi baru; dalam pengertian ini, hampir semua orang memiliki beberapa kreativitas di dalam diri mereka masing-masing.” Yang artinya adalah ide original yang sebelumnya tidak terpikirkan dan bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari kita. Ide-ide ini akan muncul apabila pikiran kita dibebaskan pada aturan dan tekanan sekitar yang membelenggu kebebasan berpikir kita, se-simple itu. Dan ini semua sudah ada di dalam diri kita semua, itu semua adalah defafult kita dari lahir. Jadi mulai sekarang jangan mau menerima pendapat orang lain bahwa anda tidak “kreatif”, padahal itu adalah default anda. Katakan saja “Saya kreatif dari lahir, hanya ide saya belum muncul jika anda selalu menekan saya”. Dan jangan lupa katakan “terima kasih”.

Bedakan Kreatif dengan Pandai Mencari Peluang (Pasar/Jualan)
Kebiasaan orang indonesia untuk “menyamakan” atau mencacri sinonimnya juga mempenagruhi arti kata “Kreatif / Kreativitas: itu sendiri. Contohnya, di masa seperti ini bingung cari pembersih tangan, maka dibuatlah video tutorial cara membuat pembersih tangan alternatif ini, nah ini orang yang kreatif meiliki kreativitas. Sedangkan contoh yang Pandai Mencari Peluang (Pasar/Jualan) yaitu, sudah lihat video tutorial itu, mereka langsung membuat dalam sekala besar dan dijual di pasaran, melalui market place daring dan di quotenya ditulis WFH (Work From Home). Tapi ide ini sudah tidak otentik, mereka menggunakan ide orang lain  untuk dijual atau dipasarkan, nah ini bukan kreatif atau memiliki kreativitas ini disebut “Pandai Mencari Peluang (Pasar/Jualan)”.


Jadi kita sudah tahu mana yang sebenarnya kita butuhkan. Orang yang Kreatif atau Orang yang Pandai Mencari Peluang (Pasar/Jualan).

Thursday, March 19, 2020

Aggression


19 Maret 2020

Aggression sebuah proses psikologis yang dilakukan oleh Human Being yang berada di Level of Consciousness (LoC) 150 yaitu Anger. Sempat saya tulis di sini:


Dan di sini juga:


Human Being yang berada di Level ini biasanya menekan Human Being lainnya yang berada di level 100 (Fear) ke bawah, Human Being ini biasanya adalah orang-orang dengan kekuasaan atau “diberikan kekuasaan” untuk memerintah, menyuruh, menundukkan, secara hierarki sosial lebih tinggi dari yang “ditekan”.

Padangan terhadap kepercayaan yang dipegangnya adalah “Eye for an eye” atau “mata dibalas mata”. Semuanya harus terbalaskan (pendendam/selalu ingat akan kesalahan orang lain). Pandangan hidupnya adalah “Dirinya adalah ‘musuh’ dari orang kebanyakan”, punya kecenderungan untuk mengatakan “Tidak apa-apa saya dibenci semua orang yang penting hukum ditegakkan”.

Emosi yang sering ditampilkan adalah kebencian, melihat segala sesuatunya dari “sisi buruknya”, memandang sesama Human Being dari sisi kekurangannya, tidak melihat Human Being lainnya sebagai pribadi yang baik.


Aggressive
Aggressive (behaving in an angry and violent way towards another person), sangat cepat dalam melakukan tindakan “penyerangan” baik verbal maupun fisik. Dari kondisi normal hingga penyerangan bisa terjadi dalam “seper-sekian-detik”.

Sebuah Pengalaman Pribadi
Kenapa saya bisa cerita seperti ini, karena saya pernah berada di kondisi ini. Kondisi “Always ready to fight”, tanpa pikir panjang, tanpa takut karena selalu berada “on the edge”, kalau bahasa Surabayanya “Senggol Bacok”. Puji Tuhan saya diberikan pendamping yang mau dan sabar dengan saya dan membawa saya ke dalam sebuah kesadaran yang lebih tinggi lagi.

Sampai kepada sebuah “Keberanian”. Keberanian untuk mengaku salah, keberanian untuk mengakui bahwa saya rentan dan lemah. Keberanian untuk mendekati orang-orang yang saya benci. “Saya tidak benci mereka, saya hanya benci keputusan yang mereka ambil”.

Sampai pada “Saya tidak pernah benci mereka sebagai Human Being apalagi sebagai Spiritual Being”. Pernah di sini? “Pernah”, mempertahankan untuk terus di sini perlu usaha dan penyangkalan diri yang lumayan.

Anda?
Iya anda, mengalami kondisi seperti ini? Punya keinginan untuk “menyerang” seseorang? Punya kebencian pada orang-orang spesifik bagi anda?

Coba mundur sejenak, kalau pernah, coba dikejar, mengapa anda benci? Mengapa anda ingin “menyerang”? Apakah anda menyerang pribadinya (Human being-nya) atau hanya menyerang keputusan yang mereka perbuat? Ataukah anda menyerang karena alasan “tidak suka aja”? Apakah anda “tidak suka aja” mengingatkan pada suatu peristiwa? Coba terus dikejar sambil terus diamati. Kalahkan keinginan “basic” anda “Evolusi-kan” kesadaran anda.

Jadi, mengapa anda masih suka menyerang orang lain?

Wednesday, March 18, 2020

Apathy

18 Maret 2020

Iya, menurut saya itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kita sekarang ini, jika dilihat dari bagaimana kita bersikap menghadapi masalah yang sedang hangat-hangatnya yaitu COVID-19 (Corona Virus). Saya tidak akan membahas pencegahannya dan tidak akan membahas penanggulangannya, saya akan bahas sikap kita terhadap sesama manusia terkait dengan Virus COVID-19 ini yang tidak hanya menyerang tubuh manusia akan tetapi juga menyerang jiwa dan Ego kita sebagai Human Being.
Saya berusaha menahan diri saya dan berusaha men-jeda agar tidak terserap dan membuat tulisab seperti ini, karena nantinya bakalan membawa emosi dan ego saya kedalam perbincangan yang populer, tapi apa daya, kejadiannya sudah di depan mata saya sendiri sehingga saya harus bisa menuliskannya di sini.

E.G.P.
“Emang Gue Pikirin?” inilah yang sedang terjadi sekarang ini di skala terkecil sosial kita, di rumah, di lingkungan rumah, di sekolah, di tempat kerja dan di tempat ibadah. Secara serentak berita dan media informasi membahas masalah COVID-19 sebagai Virus, dan membahas dampak sosialnya yang diakibatkan oleh virus itu. Mulai dari Lock-down, Curfew (Jam Malam), Social DistancingSelf Sanitizing, dan macam-macam istilah lainnya. Keadaan ini membawa kondisi pikiran kita kepada Survival Mode dan by default juga maka mulailah kita melakukan segala cara untuk survived mulai dari cara-cara kepada diri sendiri yang sifatnya defensive hingga kepada orang lain yang sifatnya offensive. EGP-nya seperti apa? Seperti belanja bahan-bahan kebutuhan hidup sebanyak-banyaknya (Stockpiling), memborong masker, memborong sanitizer, hingga meneruskan berita-berita terkait wabah virus, sampai-sampai berebut dengan orang lain hanya karena masalah beli barang dan sanitizer. Hingga ke masalah rasis Xenophobia (the fear or hatred of that which is perceived to be foreign or strange) dalam hal ini ras tertentu yang diyakini adalah origin dari Virus ini, hal ini nyata dan terjadi di luar negara-negara Asia.
Kembali lagi kepada EGP, yang berakhir menjadi Apathy, semua orang memikirkan dirinya sendiri, semua orang memikirkan keselamatan dirinya sendiri, nilai kemanusiaan menjadi pertimbangan yang ke-sekian. Despair (the complete loss or absence of hope) adalah emosi yang ditunjukkan oleh human being yang mengalami Apathy ini, pandangannya adalah Condemning (condemn: to criticize something or someone strongly) atau mengutuk kejadian ini, menyalahkan otoritas di atasnya, kepada dirinya sendiri terhadap pandangan hidupnya adalah Hopeless (having no expectation of good or success) tidak punya harapan lagi tidak punya ekspektasi sama sekali. Dan Proses Psikologis yang dialami adalah Abdication (failure to fulfill a responsibility or duty) atau gagal menunaikan kewajibannya, sebagai apapun itu.

Kelompok Sosial Terkecil
Kejadian yang saya alami sendiri di pagi ini di sebuah pertemuan pagi yang biasa kami para pekerja kantoran lakukan sebelum melakukan pekerjaan kami. Pembahasan mengenai isu-isu perusahaan yang sedang berkembang, kemudian isu nasional dan sosial. Mengerucut kepada pemasalah Virus COVID-19, kantor kami memiliki kebijaksanaan untuk mengadakan fasilitas Hand Sanitizer di setiap titik masuk keluar dan fasilitas yang seing dilakukan kontak fisik seperti Finger Print Scanner. Masalah yang utama bukan kepada pengadaan HS tersebut tetapi lebih kepada masalah sosial dari pengadaan HS tersebut, orang-orang yang berkepentingan dan secara struktur terlibat, berusaha mengalihkan tanggung jawabnya (Abdication) kepada orang lain yang sebenarnya tidak memiliki wewenang di sana, dan mereka yang mengetahui bagaimana kejadiannya hanya diam (Despair) terhadap situasi itu. Yang lainnya yang tidak tahu sama sekali tentang masalahnya hanya diam tanpa ingin tahu sama sekali (hopeless) pasrah kepada keputusan dan mencoba tindan mengambil tanggung jawab.


Pagi itu, di pertemuan itu, di ruangan itu, kami semua yang ada di situ sedang “mengalami” Apathy (LoC 50), kami semua menderita di level itu, sampai ada salah satu dari kami berani ambil tindakan dan berani angkat bicara mengenai kejadian yang sebenarnya dan meluruskan semua permasalahan itu (menaikkan level kesadaran kolektif dari kelompok pertemuan itu). Ya, se-simple itu kita bisa menaikkannya mengentas kesadaran kolektif itu keluar dari penderitaan Apathy.
Pertemuan diakhiri dengan titik terang terhadap masalah ini, semuanya bisa tenang kembali melakukan pekerjaan kami masing-masing. Dan semoga pertemuan-pertemuan berikutnya kami semua bisa menemukan titik terang terhadap semua isu-isu yang kammi hadapi, asalkan semua orang berani (Courage) mengatakan yang sejujurnya dengan data yang akurat dan mampu dipertanggung-jawabkan.

Apakah anda juga pernah mengalami yang saya alami juga? Share di kolom Comment, terima kasih….

Monday, March 16, 2020

SATU MILIAR PERTAMA SAYA


16 Maret 2020

Inilah tugas ilahi bagi saya, membuat kehidupan saya lebih indah dengan uang satu miliar pertama saya.

Anda pasti bertanya mengapa satu miliar? Mengapa bisa membuat kehidupan lebih indah? Iya, inilah oleh-oleh saya dari Semarang, setelah mengikuti Mentoring TLoC. Satu miliar mungkin hanyalah sebuah angka, tapi bagi saya adalah sebuah empowerment, memberikan sebuah bentuk dari tujuan hidup saya. Karena selama ini hidup saya hanyalah untuk bertahan hidup saja, iya hanya untuk “survived” saja. Dan dengan memberikan bentuk pada tujuan hidup saya, maka saya memuliakan karunia Tuhan ini yaitu kehidupan itu sendiri.

Sing Penting Isok Mangan….
Saya kira ini adalah pandangan yang benar bagaimana saya mendang hidup saya, ternyata selama ini saya salah, karena hidup tidak hanya asal makan saja, atau asal bisa tidur saja, tapi harus lebih dari itu, karena kehidupan ini adalah anugrah dari Tuhan, oleh karena itu kita harus berusaha dengan seluruh kemampuan kita untuk membuatnya menjadi lebih indah dengan memiliki tujuan, dengan selalu ingin mengembangkan diri untuk selalu menjadi lebih baik dalam hal apapun itu.

Saya diberi tugas oleh Mentor saya untuk memiliki tujuan hidup yang besar, yang luar biasa. Mendengarkan kata “1 miliar” saja, haati ini sudah berdesir, membayangkan sebuah pencapaian (bagi saya) yang luar biasa. Inilah yang saya butuhkan “Sebuah Tujuan”, simple tapi selama ini saya belum memiliki bentuknya.

Bagaimana Caranya?
Ini yang pertama saya tanyakan pada Mentir saya yang memberikan Tugas ini pada saya. Jawabannya “Ada 2 cara, antara memang keturunan terkenal/kaya/mempunyai modal atau menjadi Seniman/Artis” Artis yang dimaksud bukanlah selebriti melainkan “Artist” alias seniman. Saya jelaskan bagaimana saya belajar bersama istri saya, ilmu dan pengetahuan baru untuk menambah wawasan dan tentunya menambah penghasilan.


Salah satunya kami belajar bersama beberapa ilmu penyembuhan dan ilmu terapi untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan kita. Mentor saya juga menceritakan kepada saya kalau sebelum beliau mendirikan Kelompok belajar ini, beliau juga berkecimpung di dunia terapi, bahkan sempat mempunyai ruangan terapi di sebuah rumah sakit. Oleh karena itu, dengan modal yang sudah kami miliki, maka kami bertekat untuk meneruskan usaha kami untuk menjadi Therapist dan Counselor.

Marketing
Di dalam dunia bisnis, kata ini adalah kata yang paling penting untuk dipahami, karena tanpa ini maka percumalah barang yang kualitasnya bagus, percumalah pelayanan kelas satu apabila tanpa ini.
Kalau ditinjau katanya, sebenarnya ada yang terkait dengan Marketing, yaitu Sales, keduanya saling berkaitan, Sales menjuat barang atau jasa yang sudah ada, sedangkan Marketing itu membentuk barang atau jasa yang akan dijual berdasarkan pasar yang dituju.

Terkait dengan Terapi dan Counseling maka marketing yang paling cocok dalam menjualnya adalah dari mulut ke mulut, karena kalau Terapi atau Healing atau Counseling sejatinya tidak pernah di iklan kan. Saya belum pernah melihat ada iklan tetntang dokter yang ada di majalah atau korang bahkan di antara video YouTube. Karena memang tidak ada, karena semuanya berdasarkan berita dari mulut ke mulut.

Ketika Terapi atau Counseling yang anda lakukan itu berhasil, maka secara otomatis klien yang puas akan memberitakan ke kerabat atau teman-teman terdekatnya. Yang mendengarkan pengakuan dari sahabat atau saudara yang sudah menerima manfaatnya, secara tidak langsung menerima itu sebagai sebuah informasi yang sudah terbukti benar.

Bentuklah Tujuan Anda
Karena anda dan saya masih hidup di dalam dimensi ketiga, maka kita harus memberikan batasan di dalam ruang waktu inin kepada harapan dan tujuan anda, bentuklah tujuan yang jelas, yang bisa dicapai denga kemampuan yang dimiliki, karena kalau kita menetapkan tujuan tetapi tidak tahu cara untuk mencapainnya, maka itu semua hanyalah sebuah angan-angan belaka tanpa bentuk dan capaian yang jelas.

Bagaimana dengan anda? Iya anda yang baca tulisan ini, Apakah tujuan hidup anda?

Tuesday, March 10, 2020

Pengalaman Men-Transendensi-kan Level Kesadaran

10 Maret 2020

Ya begitulah kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, tidak ada yang salah, hanya saja artinya tidak seperti yang dimaksudkan. Kami (Saya dan Istri) mengikuti sebuah Mentoring “Trancending Level of Consciousness” oleh Bang Aswar dari Pure Conscioudness Indonesia. Yang dilaksanankan di Semarang selama 2 hari (7-8 Maret 2020).

Kami belajar bersama dengan peserta yang lainnya yang mengikuti Mentoring ini. Pasti anda bertanya “Apasih itu Mentoring TLoC?”. Kalau ditanya saya hanya bisa menjelaskan dari pemahaman saya yang sifatnya opni, karena setiap peserta yang hadir merasakan pengalaman yang berbeda-beda.

Mentoring TLoC bagi saya adalah bagaimana kita memandang segala sesuatunya bukan lagi dari yang mengalami tetapi sebagai yang mengamati (Observer) sehingga tidak lagi terjebak dan terserap dalam ruang-waktu. Kita bisa memandang tanpa membebani sebuah masalah dengan nilai-nilai yang kita sematkan pada sebuah masalah. Kita memandangnya murni, semua kejadian adalah positif. Mampu meberikan kemaknaan bagi pengalaman kehidupan kita sebagai manusia maupun sebagai spiritual being.

Memandang kehidupan sebagai sesuatu yang kualitatif bukan lagi yang kuantitatif, nilai-nilai ditetapkan berdasarkan kualitasnya, bukan lagi kepada kuantintasnya.

Tidak peduli berapa lama anda sudah hidup dan mengalami kehidupan, siapapun masih bisa melakukan perubahan ini.

Kehidupan Orang lain juga mewakili kehidupan kita (Anda dan saya)
Ini saya rasakan ketika saya menyaksikan seorang peserta yang maju dan sedang mengalami “Mentoring” untuk mentransendensikan Level Kesadarannya. Berbagai pengalaman di LoC 20-175, di sampaikan dengan detail oleh salah seorang peserta TLoC ini, yang dilakukan Bang Aswar hanya mencatat di flip chart dan menanyakan event-event yang dialami beserta emosi yang terkandung di dalamnya. Sebelum kelas Mentoring ini, sebelumnya saya sudah pernah mengikuti workshopnya PCI yang dilakukan di surabaya, kurang lebih saya punya gambaran bagaimana itu mentoring TLoC, sehingga konsepnya saya sudah pernah tahu.

Tapi kali ini di dalam Mentoring TLoC ini, lebih dalam lagi, sebuah deep interview di dalam level Experiencer yang sedang di mentoring tersebut. Kadang event-event yang di ceritakan juga terjadi di kehidupan peserta-peserta yang lainnya, maka kita merasakannya juga, baik emosinya maupun experience nya, ikut empati di dalam mentoring tersebut. Kepedihan, kesedihan, kemarahan kebencian dan segala macam emosi yang terkuak di dalamnya ikut merasakan keadaan tersebut, bagi mereka yang emosi dan experience nya terwakili.



Tidak Mau Rugi
Ini positif lho, karena anda harus mendapatkan apa yang sudah anda keluarkan. Artinya saya tidak mau melewatkan kesempatan untuk di Transendensikan Level Kesadaran saya.

Kalau sebelum saya maju, ada peserta yang memiliki event yang berupa relasi dengan keluarga, dan kalau saya diberi kesempatan untuk mengungkapkan event-event yang terkait uang. Sangatlah tepat dan sudah benar adanya. Memang bukanlah sebuah kebetulan lagi. Jadi saya ceritakan di sesi mentoring itu, bagaiman pengalaman saya terkait demgan uang dan bagaimana kehidupan saya dari kecil terkait dengan “Uang” dan perangkat yang bersamaan dengan “uang”.

Disitulah mulai terungkap satu-persatu bahwa uang yang saya kenal merupakan sebuah persepsi yang tidak tepat di dalam life view saya, bahwa “kehilangan uang itu wajar”, “uang itu untuk dihabiskan”. Dan yang paling menohok adalah hidup itu bukan sekedar suvive, kita harus bisa berkarya di dalam kehidupan ini, bukan saja sekedar “hidup” tetapi memberikan kebermaknaan di dalamnya.

Ada beberapa event yang mampu menemukan jiwa yang terluka yang sebelumnya belum bisa saya temukan selama ini. Ada jiwa saya yang masih hidup di event itu, dia menuntut saya untuk diperhatikan, dengan cara mensabotase kehidupan saya tanpa saya sadari sehingga membentuk fenomena bola salju yang semakin lama akan semakin membesar dan semuanya saling berkaitan terhadap bagaimana saya memandang kehidupan ini, sehingga saya mengalami pengulangan-pengulangan, kesalahan demi kesalahan yang saya alami saling terkait satu sama lainnya.

Dengan ditemukannya jiwa yang ini, maka saya bisa bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, sedikit-demi sedikit hambatan kehidupan saya yang masih menahan saya untuk maju akan semakin terurai benang kusutnya, semuanya yang gelap dan tak nampak bisa semakin jelas, karena cahaya yang datang mampu meniadakan kegelapan yang saya alami di masa-masa yang sudah saya lewati. Memahami keadaan lebih baik, memandang hal-hal yang negatif menjadi sesuatu yang positif (bukan reasoning, melainkan understanding), menerima “mereka” apa adanya, membuka tangan dengan penuh cinta, memeluk jiwa-jiwa saya yang terluka, menerima dan mengakui jiwa-jiwa jiwa saya yang tersakiti, karena “Dia yang tersakiti telah kembali….”

Hidup Bukan Hanya Sekedar “Survive”
Iya ini yang saya terima pesan ilahinya. Saya bekerja bukan hanya untuk menerima gaji saja, tapi pengalamannya juga, ilmunya juga dan relasinya juga. Untuk itu saya tidak ingin membatasi diri saya dengan apa yang sudah saya terima saja, tapi saya mencari apa yang belum bisa saya wujudkan, “menyatakan” sebuah mimpi, bukan hanya sebuah angan-angan belaka, bukan lagi sebuah afirmasi belaka. Lebih tinggi dari itu mewujudkan harapan kita, itulah misi ilahi kita sebagai Spiritual Being, mampu mewujudkan tugas spiritual kita dengan menggunakan pemberian Tuhan yang paling dahsyat yaitu pikiran kita, kreativitas kita.

Hiduplah dengan hebat, bertumbuhlah dari dalam diri, karena sukses bukan hanya sekedar kemauan melainkan perwujudan itu sendiri…..

Bagaimana dengan anda? Saya yakin hidup anda akan lebih hebat dari sekarang, wujudkanlah……

Thursday, March 5, 2020

ANGER!!

04 Maret 2020

Ada apa dengan marah? Mengapa harus marah?

Kita di sini semua bisa bilang “Saya marah”, tapi tidak banyak yang bisa menyebutkan alasannya mengapa mereka marah.

Mungkin anda yang sedang membaca tulisan ini ada yang sedang marah atau habis marah, atau bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya marah.


Apakah Marah Perlu?
Tentu saja perlu, karena merupakan salah satu ungkapan emosi, sama halnya dengan menangis atau tertawa, semuanya perlu, untuk mengekspresikan emosi yang sedang dirasakan sekarang ini, sebaiknya tidak ditahan atau represif terhadap emosi-emosi tersebut.

Marah boleh tapi bukan Amarah, sama halnya dengan sedih, boleh aja asalkan jangan jadikan kesedihan. Kemudian apa yang akan di ikuti oleh emosi marah ini? Ada penyesalan (Kalau sadar dan mau mengakuinya) kemudian disusul oleh sedih. Karena jika seseorang marah kemudian kita biarkan saja dan tidak ada yang menggubris, nanti kan lama-lama akan sedih karena ternyata dia marah untuk mencari perhatian atau agar diperhatikan dengan harapan ada yang memperhatikan, kalau kemudian harapan dari marah untuk memperoleh perhatian tidak ada yang memperhatikan akhirnya akan berubah menjadi penyesalan dan kesedihan.

Layaknya seorang anak kecil yang ingin marah tetapi tidak berani karena kalau marah sama orang tuanya nanti bisa “kualat” maka ungkapannya adalah “mengompol”  ini adalah salah satu upaya dari PBS (Pikiran Bawah Sadar) untuk memberontak terhadap aturan yang ada, dalam hal ini adalah aturan yang dibuat oleh orang tuanya.

Tapi kalau yang marah adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan atau berkuasa atas sesuatu? Ya marahlah dia sejadi-jadinya, seakan-akan tidak ada norma yang membatasi kemarahannya, bahkan kalau tidak digubris bisa jadi bukan menjadi penyesalan dan sedih melainkan menjadi amarah yang menjadi-jadi. Karena memandang object yang sedang dimarahinya ini lebih rendah darinya, sehingga yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk meluapkan segala kemarahan dan emosinya. Karena apa? Ya karena bisa dan memiliki kekuasaan dan hak atas itu.

Marah bisa Dihindarkan?
Bisa saja, asalkan bukan di tahan, karena jika sebuah emosi di timbun, terutama marah, pasti akan meledak di suatu poin dimana yang empunya sudah tidak mampu membendungnya lagi. Bisa jadi orang ini marah-marah dan memaki-maki pengguna jalan lain bukan karena pengguna jalan lainnya tidak tertib atau melakukan kesalahan tehadap dirinya, bisa jadi orang ini sebelum berangkat dia sudah dimarahi oleh atasannya ketika di kantor, kemudian sebelum menunju parkiran untuk naik ke kendaraannya, orang ini ditelpon oleh istrinya yang menanyakan kenapa kok nggak pulang-pulang? Kenapa kok jam 6 sore masih di kantor, ngapain saja? Dan kalau sudah menjelaskan alasannya masih juga dimarahi. Akhirnya karena tidak berani marah dengan atasan dan tidak berani marah dengan istri maka ketika di perjalanan menuju pulang ke rumah, orang ini terpicu oleh tindakan orang yang secara tidak sengaja memotong jalannya dan meledaklah marahnya, dan di maki-makilah pengguna jalan lain, dengan harapan yang di maki-maki tidak kenal dan kala ternyata yang di maki-maki membalas, biasanya memiliki kecenderungan untuk kabur.

Jadi bisa di cegah dengan merasakan marah atau gejolak emosi, cukup di akui saja bahwa dirinya sedang marah “Lho saya ini sedang marah…” akui bahwa diri saya marah karena….. di isi dengan alasan anda marah. Kemudian ungkapkan kepada orang yang membuat anda marah dengan cukup dengan gesture atau ungkapan yang memberikan perhatian kepada yang membuat anda marah. Kalau yang anda ajak bicara bisa menerima pendapat anda, katakan anda marah padanya, apa bila itu pimpinan atau atasan anda cukup ungkapkan dengan sedikit menaikkan volume bicara anda dengan beberapa penegasan kalinat yang menjadi perhatian. Ingat lakukan ini apabila anda memang benar dan anda yakin yang anda akan lakukan benar menurut anda.

Bagaimana caranya agar saya tidak mudah MARAH?
Mudah sekali, terima apa adanya keadaan ini. Ingat menerima keadaan bukan berati membiarkan hal salah terjadi dan yang benar di salahkan. Ungkapkan kebenaran, apabila masih disalahkan juga, cukup akui saja bahwa orang yang anda hadapi memang “aslinya” seperti itu, tidak bisa anda rubah untuk memiliki pemahaman yang sama dengan anda.

Sangat manjur apabila diucapkan dalam hati “Ya memang begitulah anda” yang artinya kita membebaskan diri dari belenggu keterserapan kita terhadap ruang dan waktu yang dia ciptakan. Posisikan diri anda sebagai pengamat bukan sebagai yang mengalami (ini masih PR buat saya, karena sampai tulisan ini dibuat saya masih sering menjadi yang mengalami bukan yang mengamati).

Yang saya tuliskan di atas bukanlah memaklumi, tetapi menyadari.

Apakah anda sadar kalau anda sedang marah? Apakah anda akan membalas marah dengan marah?

Tuesday, March 3, 2020

Identitas Diri


03-03-2020

Ketika saya ditanya oleh salah seorang petugas penerbangan mengenai identitass diri saya, pastilah hal pertama yang saya keluarkan adalah KTP (Kartu Tanda Penduduk), ini sudah menjadi sebuah pakem di dalam sebuah sistem administratif, dimana ketika kita di tanya “Tolong Identitasnya…” inilah yang pertama kita lakukan.


KTP = Anda?
Namun ketika anda ditanya untuk mengidentifikasikan diri anda, maka anda akan mulai dengan kata “Hmmmmm…..” mengapa anda tidak bisa mengucapkan secepat anda mengeluarkan KTP anda? Jangan khawatir, saya kadang juga masih seperti itu. Mengapa kita agaknya sulit ketika diminta untuk mengidentifikasikan diri kita sendiri? Ketika kita ditanya “Tolong deskripsikan diri anda?...”. Segera kita berpikir “Apa ya?” mengapa?

Ada beberapa alasan mengapa seperti itu:
  1. Karena kita tidak ingin menjawab sembarangan karena tidak ingin orang tersebut salah menilai siapa kita, “takutnya nanti kita salah bicara dan orang lain tidak suka dengan apa yang kita ucapkan”.
  2. Bisa jadi kita sendiri tidak tahu siapa kita ini sendiri itu siapa? Saya ini siapa? Pertanyaan yang belum terjawab, bahkan di usia yang sebagian orang menganggap sudah di usia dewasa.
  3. Adakalanya karena kita tidak ingin terbuka kepada orang yang sedang menanyakan hal itu kepada kita, kalau dipaksa untuk menjawab, bisa-bisa yang keluar adalah sebuah rekayasa, bukan diri kita yang sebenarnya yang ingin kita deskripsikan kepada orang tersebut.
  4. Alasan lainnya, bisa saja karena kita tidak suka orang lain mengorek informasi mengenai pribadi kita dan banyak alasan lainnya yang bisa menjadi alasan kita tidak bisa menjawab secepat kita mengeluarkan KTP kita.

Sebuah Pengalaman Pribadi
Saya pernah berada pada tahap pencarian jati diri saya, pada saat saya lahir, Bapak saya sudah menyiapkan nama untuk saya, yaitu Michael Aditya Hendrawan. Di akte kelahiran dan di KTP saya sampai saat ini masih tertulis nama yang sama sejak saya lahir. Jadi di sekolah pun saya juga menggunakan nama itu, ketika saya SD juga menggunakan nama itu tidak menjadi masalah.

Problemnya ketika SMP kelas 1 saya seringnya dikenali sebagai “Aditya” bukan “Michael” nya karena bagi sebagian orang terutama yang asing dengan kata itu bagaimana membacanya, pasti akan kesulitan dan seringnya salah menyebutkannya menjadi “Michelle” lha emang saya cewek? Kemudian “Micel” emangnya “Mie sama Pecel”, sampai akhirnya wali kelas saya memutuskan untuk memanggil saya dengan nama “Aditya” nama tengah saya.

Naik ke kelas 2 SMP, saya satu kelas dengan kakak kelas saya yang tidak naik kelas, namanya sama dengan saya “Aditya”, “wah bisa bahaya ini” kata saya dalam hati. Bisa-bisa nanti dia yang mbolos, saya yang dicari guru BP. Dengan keadaan seperti itu maka saya memutuskan untuk menggunakan nama “Michael” untuk membedakan saya dengan dia yang namanya sama dengan saya. Karena kelas 2 itu di “Shuffle” dengan siswa kelas lainnya maka beberapa anak yang baru mengenal saya ya tahunya saya itu “Michael” bukan “Aditya” dan beberapa teman saya yang satu kelas di kelas satu SMP sering bingung, siapa ini “Michael”, begitu dipanggil saya yang berdiri, baru mereka tahu “Ooooo”.

Hal ini masih saya ulangi terus sampai SMA di mana ada beberapa teman yang memiliki nama sama dengan saya maka saya menggunakan nama saya yang lainnya. Bahkan jika masuk di sebuah komunitas baru dan saya ingin dikenal sebagai sosok baru maka saya sering menggunakan “Nama-nama” saya lainnya.

Mengganti Nama = Mengganti Peruntungan?
Saya tidak menggunakan term “Nasib” karena nanti akan panjang residunya, maka saya gunakan term Peruntungan. Apakah bisa mengubah nama akan mengubah “peruntungan”, ya kalau di budaya jawa, anak yang lahir ke dunia dan kemudian sering sakit atau sering tertimpa “kesialan” sudah barang pasti penyebabnya adalah “keberatan nama” atau “namanya nggak cocok”, macam-macam lah. Karena pada dasarnya nama lahir kita ini adalah label pertama yang kita terima ketika dilahirkan ke dunia ini. Identifikasi pertama kita yang kita terima.

Nama yang diberikan orang tua sudah mengandung doa dan harapan kelak si anak ini akan menjadi seperti apa atau akan bagaimana. Oleh karena itu penggantian nama itu adalah salah satu upaya memberikan label baru, identifikasi baru terhadap diri kita, dengan harapan yang baru, tentunya harus di ikuti dengan syukuran kalau orang jawa selalu lakukan, syukuran atas doa dan harapan baru yang disematkan bersamaan dengan identitas yang baru.

Apakah Mengganti Tanda Tangan = Mengganti Nama = Mengganti Peruntungan?
Ini murni jawaban pribadi saya, semua itu tergantung “Niat” nya dan tergantung kepada pribadi masing-masing, jika seseorang mengganti tanda tangan dengan di-NIAT-kan untuk mengganti “dirinya” yang lama dengan yang baru dan benar-benar “laku”nya juga di-NIAT-kan untuk berubah, maka dengan Ijin dan Kuasa Tuhan maka “Peruntungan” juga akan berubah.

Jadi apakah dengan mengubah tanda tangan atau mengubah nama akan mengubah “peruntungan”, jawaban saya tentu saja tidak serta-merta berubah….ada kata pepatah modern yang mengatakan “tidak semudah itu Ferguso”, karena ada beberapa hal yang harus dirubah, karena tidak salah nama atau tanda tangan anda, sehingga anda memiliki “peruntungan” sedemikian rupa.
Masih ada warisan Leluhur, masih ada luka batin jiwa-jiwa kita yang dulu, masih ada hutang kebaikan yang kurang dilakukan….masih banyak lainnya lagi.

Jadi kalau saya tanya kembali “Coba identifikasikan diri anda siapa?” apakah anda sudah bisa menjawabnya secepat anda emngeluarkan KTP anda?

Waraz.

𝗜𝗡𝗚𝗜𝗡 𝗧𝗔𝗛𝗨 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗜𝗡𝗚?𝗠𝗔𝗨 𝗕𝗘𝗟𝗔𝗝𝗔𝗥 𝗝𝗔𝗗𝗜 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗘𝗥? 👇👇👇 Baca...