08 Oktober 2019
Label, hal pertama apakah yang
terlintas di pikiran kita ketika kita mendengarkan kata “Label”, bisa di
artikan secara bebas adalah sepotong kertas, plastik, kain, besi yang menempel
pada suatu benda yang memberikan informasi atau keterangan baik itu secara
lengkap maupun sepotong, baik itu harga maupun kandungan di dalamnya.
Iya benar, label adalah bagaimana
kita melihat segala sesuatunya, bahkan label kebanyakan tidak nampak tapi ada,
tidak berupa kertas atau kain yang menempel, tetapi lebih kepada makna dan arti
pertama kali kita melihat benda, barang atau bahkan seseorang.
Luar bisa bukan, labelnya tidak
nampak tapi kita bisa melabelinya. Contoh sederhana saja, waktu pertama kali
kita melihat anjing dengan ukuran normal kebanyakan anjing, apa pertama kali
yang terlintas, ada 2 macam reaksi. Bagi pecinta anjing melihatnya “Lho kok
lucu, anjing siapa ini?” kemudian dilanjutkan dengan kontak dengan anjing
tersebut. Bagi yang bukan pecinta anjing melihatnya sebagai hewan dengan taring
dan lidah yang menjulur, ada yang bilang “Ih serem” ada yang bilang “Liurnya
menjijikkan”, seram, jijik, takut bahkan ada yang benci. Inilah label, mengapa
kita melabeli sesuatu tanpa menilai lebih dalam atau lebih kepada ciptaan-Nya
yang mulia.
Ini sebabnya, dari lahir kita sudah
dilabeli oleh orang tua kita, yaitu nama lahir kita, siapapun kita, nama lahir
orang tua yang diberikan kepada kita adalah label pertama yang kita terima. Yang
kemudian dilanjutkan oleh doa dan harapan dari orang tua, dengan harapan dan
segala kebaikan orang tua terhadap kita, itulah label yang kita sandang dan
kita bawa sampai sekarang.
Oleh karena itu di kebudayaan Jawa,
apabila anak kecil sakit dan nggak sembuh-sembuh, sering diasosiasikan sebagai “Kabotan
Jeneng” atau namanya yang terlalu berat baik haraapan amupun tanggung jawab
yang diberikan kepada anak secara batin. Dan akhirnya diberikan upacara
penggantian nama agar label yang pertama tadi hilang kemudian diganti dengan
label yang baru dengan harapan baru tentunya (Harapan agar anak bisa sehat dan
tumbuh dengan normal).
Mari kita kembali pada label yang
kita sandang ketika kita lahir kemudian ketika kita mulai beranjak besar, mulai
dari TK, SD, SMP, SMA, Pendidikan tinggi bahkan sampai di dunia kerja, kita pun
masih menyandang berbagai label yang menempel di diri kita.
Masih ingatkah kita ketika kita SD
atau SMP di labeli oleh guru kita? Ketika bisa mengerjakan soal atau pertanyaan
dengan baik dan benar “Pinter kamu ya” ini label, atau ketika tidak mengerjakan
PR “Pemalas kamu!” inipun juga label. Itu hanya contoh tanpa mendiskreditkan guru
di sini, karena Guru bagi saya adalah sosok yang berjasa bagi saya apapun itu
ajarannya saya terimanya sebagai utusan Tuhan kepada saya untuk belajar
mengenai realita kehidupan.
Pertanyaannya adalah, apakah kita
adalah label yang tertempel di diri kita? Apakah lebel itu adalah diri kita?
Apakah kita adalah label yang tertempel di diri kita?
Mari kita renungkan, sejauh apa kita
sudah dilabeli, bahkan oleh diri kita sendiri,
kita labeli bahwa kita adalah karyawan kantor yang nggak mungkin bisa jadi
pengusaha, atau kita sebagai pengusaha yang harus berpikir profit dan profit
saja? Siapa yang menciptakan analogi seperti itu? Label lagi kan?
Kita diciptakan oleh Tuhan sebagai mahluk Spiritual yang terperangkap
dalam tubuh manusia, di dalam label, ini yang harus kita sadari, akui, terima
ini dan berdamai dengan ego kita. Guntinglah label kita dan temukan sejati diri
kita, maka kita akan berdamai dengan ego kita.....Salam sejati untuk diri kita
yang sejati.
No comments:
Post a Comment