Monday, September 28, 2020

 Memantaskan Diri

 28 September 2020

Kalau kita berbicara kepantasan ini ukurannya pasti beda-beda tiap individu, htergantung kepada latar belakang sosialnya, tergantung pada ukuran dari kepantasan masing-masing, saya tidak akan menyebutkan contohnya karena nanti pasti akan menyinggung beberapa individu yang ukuran “kepantasannya” tidak sama dengan saya.



Intinya begini, ketika anda itu merasa pantas untuk anda berikan kepada orang lain ya berarti itulah ukuran yang anda tetapkan untuk diri anda sendiri, itu kalau menurut saya. Jadi ketika anda merasa itu pantas untuk orang lain, ya seperti itulah anda menghargai diri anda sendiri.

Jadi bagaimana memantaskan diri kita sendiri, ya dengan memantaskan orang lain, melihat mereka sebagai individu yang sama dengan kita, sama-sama ciptaan Tuhan. Tanpa melihat latar belakang sosial dan label yang tersemat pada diri mereka. Melihat dalam di dalam diri mereka yang sejati.

Kalau di budaya ke-timur-an, biasanya tidak sopan untuk menatap mata (Eye Contact) kepada orang yang kita ajak bicara, terutama kepada yang lebih tua atau yang memiliki kedudukan sosial lebih tinggi. Sebenarnya kalau di perhatikan mengapa tidak boleh, karena ini merupakan aturan sosial untuk menjaga struktur “kelas” tetap terjaga. Karena bila kita memandang seseorang terutama yang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukannya secara sosial langsung ke “mata” maka sebenarnya kita bisa melihat diri mereka yang “sejati” tidak beda dengan kita semua ini…ciptaan Tuhan. Nah, kalau sudah begitu kan sebenarnya sistem sosial yang dibangun di masyarakat sudah tidak ada gunanya….nah seperti itulah. Sama hal nya jika kita melihat seseorang yang kita anggap memiliki kedudukan sosial yang lebih rendah dari kita atau yang lebih muda dari kita, contohnya kepada anak kita, usahakan kita bisa men-sejajarkan mata kita dengan mereka, sehingga mereka tidak menganggap kita lebih superior dari mereka, dengan begitu, kita semua setara, tidak ada Bapak-Anak lagi (Non-dualitas), tidak ada Guru-Murid lagi (Non-dualitas) tidak ada lagi Atasan-Bawahan lagi (Non-dualitas). Semua setara dan sejajar.

Begitu pula kita menilai sebuah masa atau waktu, tidak ada awalan, tidak ada akhiran, semua datang secara bersamaan. Tidak ada peng-kutub-an, tidak ada yang Baik-Buruk, hanya pilihan saja yang kurang tepat. Sama dengan usia, ini adalah konsep siapa lahir lebih dulu saja, tapi pengalamannya sama saja, kalau saya lebih muda berarti saya belum mengalami hal yang dialami oleh yang lebih tua (yang lahir duluan).

Sudah semakin jelas atau semakin kabur? Syukur kalau sudah semakin jelas, kalau semakin kabur, coba untuk berhenti sejenak dan baca sekali lagi tulisan ini dengan makna nya bukan baca tulisannya. Karena kadang kita sudah merasa tahu dan men-skip beberapa detail penting yang terkandung di dalamnya….karena saya juga masih sering seperti itu.

Memantas-kan diri saya dengan memantas-kan orang lain yang sebenarnya diri saya juga yang diproyeksikan oleh semesta untuk hadir karena saya melemparkan data yang sama di alam semesta, dan kesadaran kita juga mempengaruhi kesadaran orang lain di semesta ini…karena kita berbagi data yang sama berbagi jaringan yang sama….

Semakin jelas? Atau blas?

Sama, saya juga…..

Thursday, September 24, 2020

 Goal vs Syukur

 24 September 2020

 

Kalau dipikir-pikir mana yang lebih dulu? Kita bersyukur kalau Goal sudah tercapai atau kita bersyukur agar Goal bisa tercapai?

Dua hal ini bukanlah hal yang saling bertolak belang juga bukan hal yang sama, tapi saling terkait satu sama lain.


Jikalau Goal tercapai apakah kita selalu bersyukur? Apakah kita pelit bersyukur karena menganggap Goal yang tercapai belum 100% dan kita merasa tidak boleh berbangga diri dulu? Bersyukur harus tapi bangga jangan. Karena Goal tercapai bukanlah 100% dari usaha kita (Yakin itu usaha mu sendir?.... Sendirian?). karena selalu ada campur tangan keilahian yang sudah menuliskannya seperti itu. Sama dengan Film yang akan kita tonton, endingnya sudah dibuat hanya saja kita belum sampai ke sana nonton-nya, seperti itulah kehidupan.

Trus aku kudu piye? Yo pasrah wae lah….. Ingat, pasrah bukan berhenti menyerah, pasrah artinya segala usaha terbaik yang kita lakukan kita tidak terikat pada hasilnya nanti, tidak ada ekspektasi nantinya seperti apa, yang penting semua sudah dilakukan seperti yang sudah direncanakan, akan tetapi hasil sudah pasti tidak akan sesuai dengan yang kita rencanakan…. Ini 2 hal yang berbeda, kalau usaha kita sendiri yang mengontrolnya, sedangkan hasilnya nanti sama sekali bukan di dalam kendali kita, ya memang seperti itulah.

Kemudian ketika ada quote yang mengatakan “Banyak-banyaklah bersyukur…” ini tidak salah, ketika “Syukur” murni di ucapkan tanpa “Tail Ender” yang artinya tujuannya untuk murni bersyukur tanpa ada embel-embel lain di belakangnya…murni bersyukur yang artinya tidak punya ekspektasi apapun dari ungkapan rasa syukur tersebut. Bahkan anda bisa membaca tulisan ini seharusnya anda juga bersyukur (Tak perlu diucapkan keras-keras juga, cukup di batin saja).

Bahkan bersyukur itu tidak perlu alasan sama sekali.

Berkah-Nya sungguh luar bisa dan tidak main-main. Bersyukurlah dengan apa yang sudah kita terima hari ini, tanpa mengurangi usaha kita. Berucap-syukurlah tanpa memikirkan hasil dari ucapan syukur kita. Berterima kasihlah tanpa berharap ada yang berterima kasih pada anda. Dan saya tidak akan menjanjikan apa-apa ketika melakukan hal-hal tersebut.

Sudah begitu saja, terima kasih.

Wednesday, September 23, 2020

Waktu

23 September 2020

 

Ketika kita berbicara mengenai waktu itu sebenarnya adalah relatif, setiap orang pada dasarnya memiliki waktunya masing-masing tidak bisa di standard-kan.

Sudah sejak jama Mesir kuno, jam pertama di ciptakan, sebuah pengukuran waktu di sepakati pertama kali oleh bangsa Mesir kuno (1500 sebelum masehi), pada saat itu disebut sebagai Sundials (Jam Matahari), sistemnya sederhana, hanya mengukur pertama kali terbit matahari hingga terbenamnya matahari dibagi menjadi 12 bagian, kemudian itulah yang menjadi satu jam perbagiannya. Tentu itu tidak sama lagi dengan waktu yang jita gunakan sekarang, kerena pada saat itu Sundials hanya bisa digunakan ketika ada matahari saja, dan di daerah tertentu saja, belum juga kalau nanti musim nya berubah, pasti siang bisa lebih panjang atau lebih pendek. Kemudian diciptakan jam dengan akurasi tinggi hingga ke milidetik nya.

Baik, kita sudah membahas latar belakang mengenai penciptaan jam dan pengukuran waktu menurut sejarah manusia. Tapi bagaimanapun juga waktu tidak akan pernah menunjukkan keakuratan yang sesungguhnya, karena pada dasarnya tidak ada yang bisa benar-benar mengukur waktu secara presisi, tapi hingga saat saya tulis ini, manusia tetap tunduk pada waktu, walaupun kita sadari bahwa persepsi kita terhadap waktu selalu coba untuk di samakan oleh satu sama lainnya.



Ketika kita berada di dalam pusaran waktu maka kita akan tunduk pada hukum waktu. Yang artinya kemarin adalah yang sudah dialami, sekarang atau hari ini adalah yang sedang kita alami dan besok adalah hal yang belum kita alami. Ini konsep yang saya coba sederdhanakan agar kita bisa sepaham mengenai konsep waktu.

Sambil kita ber-jeda sembentar mengenai konsep waktu, sebenarnya dari sejak kita belum lahir kita sudah dikenai hukum waktu, kita sudah masuk dalam pusaran dan aliran sungai “waktu”. Di dalam kandungan Ibu kita, kita bahkan tidak diberi kesempatan untuk menentukan “waktu” kita sendiri. Kita sudah dihitung mulai dari terbentuknya janin hingga sampai menjadi bayi sempurna yang siap untuk dilahirkan ke dunia, berapa lama itu? Kurang-lebih 9 bulan 10 hari, kalau kurang dari itu kita didkatakan “Premature” kalau lebih dari itu dikatakan “Bayi Malas”, dan harus dipaksa untuk dilahirkan melalu obat perangsang kelahiran atau dengan operasi Caesar, dengan alasan medis dan lain sebagainya.

Kemudian ketika lahir jadi bayi pun, kita sudah di kenai hukum waktu yang mengatakan “Umur segini harusnya sudah bisa tengkurap”. Simple, tapi kita sudah mengalami dan berada pada aliran waktu. Sampai pada nanti kita belajar berjalan pertama, mengatakan kata-kata yang pertama, semua itu sudah dirumuskan dengan waktu, “Seharusya usia sekian sudah bisa……”, ini sebenarnya menjadi sebuah penderitaan batin bagi yang tidak bisa “Tepat Waktu”, dan pasti akan menjadi beban yang akan dibawa sampai dewasa nantinya.

Jadi semakin kita terserap pada waktu maka kita akan semakin menderita, penderitaan akan bertambah dengan seiring berjalannya waktu, ketika kita mulai membandingkan diri kita dengan orang lain, “Dia umur 25 tahun sudah nikah, saya kok belum ya?” dan lain-lainnya, apalagi jika ditambah dengan lingkungan yang semakin membuat kita terserap ke dalam hukum waktu.

Kemudian bagaimana caranya agar kita tidak semakin terserap kedalam hukum waktu? Jawabannya adalah tidak akan bisa, karena kita terperangkap dalam tubuh manusia yang punya umur pakai dan pasti akan terpengaruh dengan hukum waktu karena kita ada di dalamnya.

Tapi ada caranya agar kita tidak terserap secara terus menerus ke dalam pusaran waktu ini. Dengan cara sediakan “Waktu” bagi “Diri sendiri” untuk diam dan hening sejenak untuk kontemplasi (tidak sama dengan meditasi). Kontemplasikan keberadaan diri anda sekarang tanpa memvisualisasikan apapun itu, rasakan diri anda di dunia ini sebagai apa? Tidak untuk dijawab juga, hanya dikontemplasikan…..siapa kah anda? Mengapa anda berada di sini?

Waktu yang tepat menurut saya untuk melakukan kontemplasi (bagi saya) adalah ketika akan tidur, setelah bangun tidur dan ketika istirahat siang (karena saya orang kantoran).

Artinya ketika kita melatih diri kita untuk sejenak terlepas dari belenggu waktu, maka sedikit demi sedikit kita akan mengurangi penderitaan kita sebagai manusia di dunia ini yang terkena hukum waktu, menjadi lebih ringan dan mampu mengendalikan waktu kita masing-masing.

 

Mari ber-jeda bersama.

Tuesday, September 15, 2020

 Loyalitas; Arti sebuah kesetiaan (Sebuah diskusi di kepala ANDA)

 Mulai ditulis 14 Juli 2020 baru bisa diselesaikan 15 September 2020

 


Suatu saat saya pernah di semat’i sebuah label “kamu orangnya tidak loyal terhadap pekerjaan kamu” oleh salah seorang pemilik sebuah usaha tempat saya bekerja dulu, sekitar 10 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2010.

Sebelum saya belajar ilmu pengetahuan tentang Consciousness, hal semacam ini benar-benar ter-imprint pada pikiran bawah sadar saya. Sambil bergumam kepada diri saya sendiri…”Ooo…saya ini orangnya nggak loyal ya…”. Dengan pernyataan sederhana sebagai sebuah identifikasi diri saya, di pikiran sub-conscious saya sudah menerima bahwa saya orangnya “Nggak Loyal” (bisa diartikan tidak setia dalam hal pekerjaan).

Di awal saya bekerja di pekerjaan saya yang sekarang (di tahun ke-1 dan ke-2) saya masih melamar pekerjaan-pekerjaan lainnya di perusahaan-perusahaan lainnya. Sudah ada beberapa tawaran pekerjaan dengan janji yang “lebih baik” tentunya. Tapi tidak ada satu pun yang berjodoh dengan saya. Tak terasa berjalan 10 tahun saya bekerja di tempat pekerjaan saya ini, saya sudah tidak tertarik untuk pindah pekerjaan di tempat kerja lainnya. Karena menurut saya, “semua pekerjaan di mana saja itu selama anda masih ikut orang”. Artinya selama kita masih bekerja sebagai orang yang digaji, maka semuanya itu sama saja, mau ikut perusahaan kecil maupun sebuah korporasi raksasa, sensasi rasanya itu sama semua, hanya beda di taraf kehidupannya saja, nah sampai mana kita mau mengejar taraf kehidupan ini, apabila makna dan raasanya sama?

Pasti ada suatu kesempatan di dalam kehidupan kita ini yang pernah kita alami, sebuah pengalaman yang membangkitkan semangat hidup kita, sebuah kejadian yang inspirasional bagi kita shingga kita memutuskan, “Saya ingin….”, “Saya mau….”, “Saya….”. Tinggal dilihat saja seberapa kuatnya keinginan, kemauan dan harapan ini. Seberapa besar kita bisa memperjuangkannya dan mewujudkannya.

Bagaimana saya bisa memenangkan keinginan dan harapan ini?

Sadari dahulu ketika kita mengikrar-kan sesuatu seperti itu “saya ingin…” selealu ada jiwa kita lainnya yang meng-counter hal tersebut. Seperti ada yang berkata “Yakin? Paling juga besok sudah malas”. Atau mungkin di kepala kita juga ada yang bilang “Lho jangan, nanti kamu mau bayar cicilan pakai apa kalau kamu nggak dapat gaji?”. Atau ada yang seperti ini “Baiklah, silahkan ikuti hasrat liar mu, saya yakin kamu akan kembali lagi jadi seperti sekarang ini”.

Caranya adalah….

Jika anda mengharapkan ini adalah sebuah metode atau teknik tertentu, maka silahkan pindah ke baca yang lain saja, karena saya tidak akan bahas hal tersebut.

Cara memenangkannya adalah berlatih untuk melakukan manajemen pikiran anda sendiri, caranya terserah anda batasan terserah anda. Cukup sadari saja, ini sekarang yang bicara siapa, yang sedang mikir ini siapa, bahkan yang sedang baca tulisan ini siapa? Apakah otak limbic (Emosi, survival) saya? Otak Parietal (Perhitungan, memory) saya? Ataukah Otak Frontal (Logika, norma) saya yang sedang aktif sekarang?

Coba di sadari dulu diri sendiri, meanangkan dulu peperangan dengan diri sendiri, tenangkan dulu debat kusir yang ada dikepala anda…

 

Nah, kalau sudah mari diskusi di kolom komentar di bawah ini…..

Waraz.

𝗜𝗡𝗚𝗜𝗡 𝗧𝗔𝗛𝗨 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗜𝗡𝗚?𝗠𝗔𝗨 𝗕𝗘𝗟𝗔𝗝𝗔𝗥 𝗝𝗔𝗗𝗜 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗘𝗥? 👇👇👇 Baca...