Tuesday, May 31, 2022

Luka dan Waktu.

30 Juni 2022

Luka fisik pada tubuh akan sembuh seiring dengan berjalannya waktu, kerena begitulah anugrah-Nya menciptakan kesembuhan pada tubuh kita ini agar mampu pulih seiring dengan berjalannya waktu. 

Begitu pula dengan luka batin, akan sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, kalaupun belum sembuh, seiring berjalannya waktu kita akan melupakannya. Lupa karena memory kita sudah tertimbun dengan memory - memory baru yang lebih baik atau bahkan yang lebih buruk. Atau di beberapa kasus terjadi 'deletion' akibat trauma yang mendalam.

Inilah cara subconscious mind kita untuk melindungi diri kita sendiri dari trauma itu sendiri. Ini kabar baik buat diri kita yang mengalami hal seperti ini, jadi tidak akan ingat terus. 

Kabar buruknya, memory ini akan sangatlah mungkin datang atau muncul kembali apabila terjadi stimulus response yang tepat atau trigger yang pas. Bahkan sangatlah mungkin muncul responnya tanpa kita sadari bahwa ini timbul karena peristiwa yang belum terselesaikan. Bisa jadi malah tidak ingat peristiwanya, tiba-tiba saja sedih, tiba-tiba saja marah, ini yang terkadang tidak disadari.

Tapi, apakah kita harus tahu peristiwanya? Tidak juga harus tahu, kadang hanya tahu rasa saja yang tidak enak bisa dengan di interupsi melalui Tapping kesadarannya. Nanti biasanya akan timbul dengan sendirinya peristiwa itu bagi yang bisa mengalami dan menyadarinya. Dengan menyadari saja bahwa kita mengalami peristiwa itu dan perasaan yang ditimbulkan pada saat itu saja sudahlah cukup, apalagi bisa sampai mengakui bahwa dirinya pada saat itu mengalami hal itu.

“Ya saya pada saat itu terluka.” Itu sudah cukup. Terima jiwa kita yang pada saat itu terluka, agar tidak selalu menagih janji apabila peristiwa semacam ini datang kembali.

Percaya atau tidak, saya pernah juga mengalami hal yang sama seperti ini, mungkin beberapa kali, mungkin juga anda pernah mengalaminya, baik itu yang disadari maupun yang tidak.

Foto Kenangan Rumah dan Mendiang Ibu.  

Jadi seperti pada gambar yang ada bersamaan dengan artikel ini, di situ ada gambar rumah orang tua saya yang dibeli guna tujuan investasi, yang nantinya akan dijual apabila nilainya sudah bertambah. Pertama kali membelinya ketika tahun 90an, dan kemudian dijual di awal tahun 2000an.

Tapi peristiwa ini bukanlah mengenai riwayat dari rumah itu, melainkan kenangan yang tercipta akibat dari pengalaman yang saya alami dan rasa yang saya rasakan ketika terjadi peristiwa itu. Jadi peristiwanya atau eventnya adalah, ketika rumah itu dijual dan sudah terjual, dan kebetulan ruamh itu sudah ada perabotannya, kasur, kursi, lemari dan barang – barang lainnya (karena rencananya tidak akan dijual tetapi akan dibuat sebagai rumah singgah). Nah, pada saat mengosongkan rumah itu kami ber-empat, saya, adik saya dan kedua orang tua menyewa kendaraan rental berupa mobil-bak-terbuka (Mobil Pickup) untuk memudahkan pemindahan barang-barang yang ada di rumah itu.

Sesampainya di sana kami mulai memuat mobil-pickup itu dengan barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah utama kami, setelah seluruh barang sudah termuat ke dalam mobil-pickup tersebut, saya diberi tugas oleh Bapak saya untuk mengawal mobil itu agar selamat sampai di rumah. Awalnya saya sempat protes karena merasa hal tersebut tidak perlu dan saya percaya bahwa pemilik mobil-pickup itu tidak akan ‘lari’ dan membawa barang-barang yang sudah dimuat ke dalam bak kendaraannya. Tapi saya tidak bisa memberikan fakta yang tepat untuk mengubah pendirian Bapak saya, alhasil saya tetap mendapat tugas untuk mengawal pengiriman barang itu hingga tiba sampai di rumah utama kami. Kalau bisa dibayangkan itu jaraknya lumayan jauh karena termasuk berada di kota lain dari tempat tinggal kami. Dan pada saat itu perjalan saya menuju rumah tidak bisa ditempuh lewat jalan Toll karena muatan yang kami bawa waktu itu tidak diijinkan untuk melalui jalan Toll.

Singkat cerita beberapa masalah mulai timbul karena jiwa saya pada saat itu merasa tidak terima dengan keputusan yang ‘memaksa’ saya untuk menerima kenyataan bahwa saya harus naik di dalam mobil-pickup, walaupun tidak duduk di bak mobil (untungnya) saya duduk di sebelah pemilik mobil, tapi karena cuacanya panas dan perjalanan lumayan jauh saya merasa pada saat itu cukup menderita karena merasa kenyamanan saya terganggu, sudah biasa naik mobil ber-AC sekarang harus naik mobil tanpa AC di siang hari yang panas-terik dan mobil yang saya tumpangi ini kecepatannya tidak bisa lebih dari 60 km/jam karena membawa muatan itu tadi.

Tidak nyaman, tidak terima, marah dan jengkel membuat semakin menjadi ketika sampai di rumah. Mengapa begitu? Karena yang tadinya memuat barang-barang ini bersama-sama dengan Bapak saya, adik saya, saya dan pemilik mobil rental. Sekarang menurunkan barangnya hanya berdua saja, saya dan pemilik mobil rental ini. Ya masih untung pemilik mobil sewaan ini masih mau menurunkan barangnya bersama saya. Padahal awalnya saya ingin menunggu kedatangan Bapak saya dan adik saya yang seharusnya sudah sampai dari tadi (secara logika harusnya sudah sampai duluan karena bisa naik Toll dan kecepatan bisa sampai 100km/jam). Nyatanya saya yang sampai duluan adalah saya, dan setelah ditunggu sampai sekitar 30 menitan tidak datang juga, akhirnya pemilik mobil-pickup memutuskan untuk menurunkan barang-barangnya karena tidak mungkin menunggu lebih lama lagi. Dan lagi-lagi saya terjebak pada posisi tidak bisa memiliih, persaan yang tadi sudah tidak nyaman, semakin ditambah dengan hal seperti ini, ya semakin menjadi-lah.

Setelah menurunkan barang-barang yang terhitung cukup berat menurut saya pada waktu itu dengan keadaan perut lapar karena belum makan siang dan saya tidak dibekali uang untuk membeli makan hanya uang pas untuk membayar sewa kendaraan dan membayar jasa dari pemilik mobil rental kendaraan, hanya air putih dingin yang bisa saya suguhkan kepada Bapak pemilih mobil sewaan yang baik hati karena mau melakukan pekerjaan di luar harga sewa kendaraanya saja.

Sekitar 2-3 jam dari selesainya bongkar-muatan dan memberikan uang kepada pemilik mobil sesuai dengan kesepakatan awal (walaupun sebenarnya saya ingin memberi lebih tetapi saya pada saat itu tidak punya kemampuan untuk bisa memberi lebih). Datanglah orang tua saya bersama dengan adik saya sekitar jam 3 sore. Dan karena sudah menunggu lama dan lapar (berharap dapat oleh-oleh makanan). Yang ada hanya ‘nothing’…. Iya nggak ada apa-apa, jadi orang tua saya lupa membelikan saya makanan, padahal sempat mampir lama di sebuah depot makanan yang terkenal di daerah sana dan makan di sana.

Inilah yang membentuk ‘jiwa’ yang tidak terima ketika gambar, suara, cerita, dan flash memory yang muncul mengakibatkan ‘rasa sakit’nya timbul kembali. Jiwa saya yang mengalami kejadian nelongso itu pasti akan muncul lagi. Bahkan kalau saya makan di depot yang saya ceritakan tadi itu, pasti saya teringat pada peristiwa ini. Jiwa saya yang tidak terima diperlakukan seperti itu pasti akan muncul terus.

Tetapi kemarin ketika gambar ini di-share di group keluarga kami, saya berhasil menemui ‘jiwa-yang-tidak-terima’ ini kembali, bukan dengan menolaknya, tapi saya berusaha menyadarinya dengan mengakui. “Iya, pada saat itu saya terluka, saya menerima diri saya yang terluka, karena memang itu kenyataanya.” Setelah itu selesai. Bahkan dengan menulis ini saya masih menemui jiwa-jiwa saya yang terluka, yang marah, yang sakit. Tetapi saya tidak menolaknya, saya rangkul dan saya terima jiwa-jiwa saya itu. Karena saya bukan jiwa yang tercipta dari peristiwa traumatis. Tapi karena saya adalah SAYA.

Bagaimana dengan anda, mungkin dengan menuliskan pengalaman ‘traumatis’ anda di kolom komentar bisa membuat anda ‘berdamai’ dengan jiwa-jiwa anda yang masih belum bisa ‘terima’?

No comments:

Post a Comment

Waraz.

𝗜𝗡𝗚𝗜𝗡 𝗧𝗔𝗛𝗨 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗜𝗡𝗚?𝗠𝗔𝗨 𝗕𝗘𝗟𝗔𝗝𝗔𝗥 𝗝𝗔𝗗𝗜 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗘𝗥? 👇👇👇 Baca...