Tuesday, January 26, 2021

 Tumpah

 26 Januari 2021

 

Seperti itulah perumpamaan bagaimana kita bereaksi tanpa jeda, yang ada adalah subconscious atau alam bawah sadar kita yang mengambil alih. Ketika kesadaran kita sedang tidak bisa membutuhkan apa yang harus dilakukan segera maka subconscious inilah yang mengambil alih.

Emosi yang ditunjukkan bisa macam-macam, bisa marah, sedih, kaget, takut, jijik bahkan mungkin malah freeze atau terdiam. Disinilah penting nya untuk menyadari nafas, sadar setiap tarikan dan hembusan nafas kita. Merasakan kesegaran ketika kita menariknya dan merasakan kelegaan ketika menghembuskannya.

Nafas adalah penanda hidup, pemberi hidup dan salah satu anugerah luar biasa dari Tuhan. Maka diciptakan lah subconscious untuk mengendalikan nafas kita, agar kita selalu ingat untuk ber nafas. Walaupun itu dilakukan autonomously oleh subconscious kita.

Menyadari nafas adalah salah satu upaya kita menyadari keberadaan kita, menyadari kalau kita sedang bernafas... Saya yakin ketika anda membaca tulisan ini pasti sekarang anda sedang menarik nafas lebih panjang dan menghembuskannya lebih lama dari biasanya. Itulah anda yang sejati, anda yang sedang menarik nafas ini.

Expresi dari subconscious kadang mengagetkan diri kita sendiri mungkin kadang berujung pada penyesalan.

"Ngapain saya tadi marah-marah ya? Wong cuma gitu aja kok marah?"

 

Kutah

Seperti itulah luapan emosi yang di kendalikan oleh subconscious, instan, meluap, dan tumpah. Sama seperti kopi pagi saya yang tumpah karena ketidak sengajaan ini. Begitu pula kemarahan yang tidak sengaja, sudah tumpah tidak mungkin bisa saya masukkan kembali ke  gelas kertas kopi saya ini. Kemarahan tidak mungkin bisa saya UNDO lagi, saya menyesal, yang kena marah saya sudah terlanjur terluka.

Untuk itu sebisa mungkin kita didik subconscious kita untuk bernafas dulu setiap menghadapi peristiwa yang mengaduk-aduk emosi kita.

 

Sudahkah anda bernafas hari ini? (Quote harian dari Pak Bagus Herwindro, terima kasih Pak)

Monday, January 25, 2021

 Kisah Tentang Pinggiran Roti (Kulit Roti)

 25 Januari 2021

 

Ini merupakan tulisan pertama di tahun 2021, mengapa saya lama tidak menulis ya karena alasan klasik, “tidak sempat” bukan karena materinya yang tidak ada bukan karena waktunya yang tidak ada, akan tetapi “hati” ini yang tidak sempat hadir di dalam tulisan tersebut. Hari ini saya menulis lagi, semoga berkenan.

Jadi ini merupakan kisah tentang pinggiran roti atau biasa kita sebut sebagai “Kulit Roti”. Pinggiran roti ini bukanlah selera semua orang. Bagi beberapa orang memang sengaja dibuang atau tidak dimakan karena selain warnanya beda dari “roti” itu sendiri, mereka juga memiliki tekstur dan rasa yang berbeda pula, sekali lagi bukan selera semua orang. 

Sampai-sampai ada beberapa toko roti yang menyediakan roti tawar kupas atau roti tawar putih. Yaitu Roti yang bagian pinggirannya atau kulit rotinya sudah dikupas atau sudah dipotong. Sehingga bagi siapapun yang membelinya sudah tidak repot-repot lagi memotongnya atau mengupasnya lagi, sudah tinggal dimakan saja.

Mari kita mundur lebih jauh lagi bagaimana sebuah roti dibuat oleh seorang pembuat roti (Baker) yang mengolahnya sehingga menjadi roti yang siap kita makan. Jadi bahan pembuat roti biasanya terdiri dari bahan utama yaitu tepung terigu, ragi, air, minyak sedikit dan garam atau gula, atau bisa keduanya. Sekarang tergantung baker yang menentukan akan menjadi roti seperti apakah ini nanti, apakah roti tawar atau roti dengan rasa tambahan lainnya. Inti bahan pembuatnya sama semua untuk semua roti. Adonan diolah dan dicampur kemudian di uleni (knead) dengan sepenuh hati hingga sesuai dengan keinginan dari baker seperti apa nanti roti ini jadinya.

Setelah itu dimasukkan ke oven untuk dipanggang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk membuat roti tersebut. Kemudian setelah matang dan selesai roti dikeluarkan dari pangganganan dan didinginkan di suhu ruagan dan kemudian dikemas siap untuk dijual atau dihidangkan.

Pinggiran Roti

Jadi roti dan pinggirannya pada dasarnya terbuat dari bahan yang sama, diolah oleh baker yang sama, mengalami proses pengolahan dan pemanggangan yang sama, tapi kenapa kita membedakan antara pinggiran roti dengan roti yang pada dasarnya mereka itu sama?

Padahal kalau di telusuri kembali untuk bagian roti terluar atau kulit roti ini sangat berjasa melindungi tengah roti ini agar tidak ikut kering seperti pinggiran roti yang terpapar panasnya oven secara langsung?

Mengapa kita masih menganggap Kulit Roti ini tidak pantas kita makan bersamaan dengan tengah roti yang selama ini di naungi oleh kulit roti agar mereka bisa menjadi roti yang putih bersih dan tidak gosong?

Bukankah ini sama saja seperti kita memperlakukan orang lain yang kita rasa lebih hina dari kita? Orang lain yang kita anggap lebih jahat dari kita? Orang-orang yang jahat terhadap kita?

Kita apakah orang-orang tersebut? Iya benar sekali…. Kita singkirkan dan kita buang, karena orang-orang itu tidak pantas “sepiring” dengan kita bukan?

Padahal mereka yang jahat kepada kita itu terbuat dari bahan yang sama dengan kita, mereka juga berasal dari “Baker” yang sama dengan kita yaitu Tuhan?

Bukankah kalau kita menghina mereka adalah sama dengan menghina “Baker” nya yaitu Tuhan?

Sekarang kalau sudah tahu mau apa kita?

Waraz.

𝗜𝗡𝗚𝗜𝗡 𝗧𝗔𝗛𝗨 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗜𝗡𝗚?𝗠𝗔𝗨 𝗕𝗘𝗟𝗔𝗝𝗔𝗥 𝗝𝗔𝗗𝗜 𝗛𝗢𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗖 𝗛𝗘𝗔𝗟𝗘𝗥? 👇👇👇 Baca...